Mengapa kenaikan harga BBM
tidak pernah menyejahterakan masyarakat
Oleh: Umi Salamah
Tolak Kenaikan Harga BBM. Masih segar rasanya betapa
pekanya presiden dan para menteri di awal reformasi. Pada saat pemerintah akan
menaikkan harga BBM, seorang menteri Pertambangan dan Energi Kuntroro Mangku
Subroto meneteskan air mata ketika dimintai keterangan oleh redaksi sebuah
televisi. Sementara menteri yang lain juga bekerja keras untuk saling subsidi
silang. Presiden Habibie langsung inspeksi ke pasar-pasar tanpa pengawal untuk
melihat langsung reaksi pasar. Beliau melihat secara langsung bahwa kenaikan
harga BBM memiliki dampak yang sangat miris dan sangat serius bagi rakyat kecil
dan menengah. Kenaikan harga BBM akan menimbulkan masalah yang lebih besar bagi
negara dan justru menambah jumlah kemiskinan dan pengangguran. Presiden Habibie
segara merespon, BBM tidak dinaikkan tetapi negara tidak dirugikan. Presiden
dan para menterinya bekerja keras untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
Ini jauh berbeda dengan
kondisi saat ini. Para elit justru berpesta pora menyengsarakan rakyat. Tidak
terlihat lagi kerja keras dan kepekaan sedikit pun di hati dan di wajah mereka.
Sidang DPR pun tidak memihak kepada rakyat karena distimulan oleh pihak asing.
Ketergantungan yang sangat tinggi kepada pihak asing menyebabkan pemerintah
tidak berdaya menyelesaikan permasalahan dalam negeri secara mandiri. Bahkan
menentukan harga BBM saja harus tergantung pada Nymek/Amerika. BLSM yang
digagas sebagai kompensasi kenaikan harga BBM pun justru membuat masyarakat
semakin bodoh, miskin, dan tertinggal. Ini jelas bertentangan dengan UUD 1945
dan Pancasila.
Untuk melepaskan dari politik ketergantungan,
kita harus membangkitkan jiwa Bung Karno, bahwa bangsa yang besar,
bermartabat, dan terhormat hanya dapat dicapai melalui persatuan nasional yang
berlandaskan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Indonesia memiliki SDA dan
SDM yang sangat besar, tinggal bagaimana mengelolanya. Diperlukan leader yang
mumpuni, berwawasan luas, dan memiliki integritas tinggi terhadap Pancasila dan
UUD 1945.
Mengapa tingginya APBN tidak
menyejahterakan rakyat Indonesia? Indonesia merupakan negara pejabat, karena Indonesia memiliki
jumlah pejabat paling banyak dan paling gemuk di dunia. Indonesia memiliki
kementrian sebanyak 34, sementara itu, Cina yang jauh lebih luas dan
dengan jumlah penduduk sangat besar hanya memiliki 11, Australia 28, Korea
Selatan 13, Jepang 16, Malaysia 18, dan USA hanya 15). Mereka memiliki jumlah
kementerian yang ramping tetapi rakyatnya lebih maju dan lebih sejahtera.
Sementara itu, Indonesia masih memiliki
pejabat nonkementrian sebanyak 30, nonstruktural 97, dan Lembaga PEMDA
(Propinsi 33, kota dan kabupaten 520). Jumlah itu belum termasuk jumlah
legislatif, staf ahli dan staf lainnya. Struktur politik semacam itu sangat
tidak rasional karena memerlukan biaya yang sangat besar. Biaya yang digunakan
untuk menggaji dan memfasilitasi mereka sangat mahal, padahal kinerja yang
mereka lakukan tidak impas dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk itu semakin
jelas permasalahannya. Mengapa anggaran APBN yang begitu besar hanya menetes
kepada rakyat, karena semua anggaran APBN hanya berhenti di atap, di elit,
sehingga mustahil dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebesar apa pun APBN
jika struktur politik tidak rasional, tidak akan pernah menyejahterakan
masyarakat. Dengan demikian, kenaikan harga BBM pada akhirnya hanya untuk
meningkatkan kesejahteraan pejabat bukan rakyat.
Beban APBN sebagian besar digunakan untuk
menggaji dan memfasilitasi pejabat negara. Birokrasi yang tidak transparan dan
hukum yang tidak objektif juga memicu terjadinya korupsi dalam berbagai
instansi. Ini merupakan pintu terbesar bocornya anggaran yang seharusnya
disalurkan kepada rakyat. Bagaimana rakyat bisa merasakannya. Misalnya saja,
dana pendidikan yang dinaikkan hingga 20% pun tidak membuat kualitas pendidikan
makin baik dan merata. Faktanya, biaya pendidikan yang ditanggung oleh
masyarakat justru makin tinggi, penyebaran tenaga pendidik tidak merata,
pemberian BOS dan block grant tidak tepat sasaran karena tidak
didasarkan pada hasil research melainkan lebih pada negosiasi
bagi-bagi komisi. Banyak lembaga pendidikan yang justru dijadikan ATM oleh para
pejabat. Sementara di daerah laman batas masih banyak sekolah yang tidak layak
dari segi jumlah pendidik, sarana dan prasarana.
Tanpa jaminan struktur politik yang rasional
dan hukum yang objektif, masyarakat kita akan tetap seperti ini. Hukum harus
berlaku sama baik, ke kanan, ke kiri, ke atas maupun ke bawah. Di samping itu,
efisiensi jumlah pejabat (rasionalisasi struktur politik), transparansi birokrasi,
dan mengurangi ketergantungan pada asing harus segera dilakukan. Mungkin
merupakan ini sebuah solusi.
Ka.
Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Malang dan Dosen Universitas Brawijaya,
Aktivis
sosial dan politik
0 comments:
Post a Comment