Membangun
Kemandirian di Bidang Pertanian
Berantas Mafia,
Bangun Sinergi, Kikis Mentalitas Sok Kuasa
Oleh : Umi Salamah
Bangsa
yang unggul akan menganggap segala masalah sebagai hal yang dapat diatasi
[Andrew
Carnegie]
Kikis
Mentalitas “Sok Kuasa” dari Dominasi kekuasaan
Sikap arogansi para legislatif yang
seharusnya memperjuangkan nasib rakyat dan sikap birokrasi yang seharusnya
menjadi pelayan rakyat, saat ini
sebagian besar menjadi sikap “sok kuasa” yang ditimbulkan oleh dominasi dalam
kekuasaan. Partai dominan cenderung melakukan dominasi berupa tekanan dan
pembohongan publik sebagai sikap arogansi “sok kuasa” terhadap tenaga pakar
yang sebenarnya sangat diperlukan untuk membangun bangsa dan negara ini. Sebut
saja Rudi Rubiadini, seorang pakar yang seharusnya membawa kejayaaan bangsa dan
negara Indonesia di bidang migas, telah
dinodai, ditelanjangi, dikorbankan, dan dihinakan oleh sebagaian anggota
legislatif dan birokrasi di Indonesia utuk kepentingan kelompoknya. Hal ini
menjadi fenomena yang sangat buruk bagi pendidikan politik di Indonesia juga
bagi optimisme para pakar untuk berpartisipasi membangun bangsa dan negara
Indonesia.
Kecenderungan seperti ini
menumbuhkembangkan mafia di berbagai lini birokrasi yang akan terus tumbuh
menjadi kanker yang melemahkan semangat bangsa Indonesia dan melumpuhkan
kemandirian negara Indonesia. Sikap kemandirian yang telah dibangun dengan
susah payah oleh pendiri bangsa diruntuhkan oleh sekelompok politisi yang
kurang memiliki rasa nasionalis.
Stop
Ketergantungan Impor Pangan dan Mendesak Dilakukan Kemandirian Pangan Sepenuh
hati
Pembangunan pertanian pangan selama ini hanya dilakukan setengah hati. Program dan
gerakan pembangunan pertanian, hanya kuat di atas kertas dan wacana
dalam konteks politik saja. Pelaksanaanya hampir tidak ada. Hampir 10 tahun pemerintah menggulirkan
program revitalisasi pertanian, perikanan dan perkebunan dengan
ketahanan dan keswasembadaaan pangan. Sebagai ukuran keberhasilan revitalisasi pertanian maka
pemerintah telah menargetkan swasembada atas lima komoditas strategis yaitu
padi, kedelai, jagung, daging dan gula, namun apa yang terjadi.
Sungguh sangat ironis, Indonesia, yang pernah menikmati kemandirian pangan tahun 1980-an, kini
menempati posisi ke-empat sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia.
Setiap tahun, Indonesia mengimpor beras mulai 1,5 juta ton untuk memenuhi konsumsi beras nasional yang dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tidak hanya beras,
kegemaran impor pangan sudah merambah ke jenis lain, seperti jagung, kedelai,
daging sapi, bawang merah, bawang putih, gula, bahkan buah-buahan.
Sepertinya ruang domestik petani
dihabisi sedikit-demi sedikit. Mengikisnya
prioritas di bidang pertanian, khususnya pangan yang disebabkan oleh beberapa
faktor, di antaranya sikap arogansi “sok kuasa”, makin maraknya mafia, alih fungsi lahan sawah menjadi
fungsi lainnya, melemahkan motivasi para petani, sehinga terjadi
pergeseran pekerjaan dari pertanian
menuju ke pembangunan infrastruktur yang tidak menjadi prioritas. Hal ini
menyebabkan produksi pangan di Indonesia mati suri.
Situasi ini membuat posisi Indonesia rentan krisis pangan karena negara-negara penyuplai bahan pangan mulai mengurangi ekspornya akibat perubahan iklim yang
berpengaruh langsung terhadap produktivitas bahan pangan. Pada sisi lain, ketahanan pangan
selalu berada pada situasi yang mengkhawatirkan karena besarnya laju impor. Nilai impor
pangan saat ini sudah
menembus 15
miliar dolar Amerika Serikat. Makin meningkatnya impor, menyebabkan
harga bahan pangan menjadi melambung tinggi, sementara daya beli sebagian besar
masyarakat Indonesia masih sangat rendah.
Apabila terjadi kerawanan pangan, maka masyarakat miskinlah yang paling rentan terkena dampaknya. Sekitar 78,11 persen masyarakat miskin saat
ini tinggal di pedesaan (BPS, 2012). Mereka sangat tergantung pada pertanian skala
kecil. Pertanian padi skala kecil masih merupakan pilihan yang unggul bagi
penyediaan pangan karena cenderung lebih stabil dan dapat membantu
menyelesaikan persoalan kemiskinan lokal. Bagaimana upaya untuk mengantisipasi
kerawanan krisis pangan di Indonesia? Di manakah fungsi kementerian pertanian
dan di manakah fungsi koordinasi antar menteri.
Atas dasar inilah, Indonesia harus mulai membangun kemandirian pangan. Di sisi lain,
Indonesia telah menghasilkan jutaan sarjana pertanian di bidang
argroekoteknologi, agribisnis, dan agroindustri. Lembaga-lembaga ini telah
menghasilkan berbagai hasil research di bidang pertanian yang dapat membangun
ketahanan pangan. Tetapi sangat disayangkan, kemauan baik dari pemerintah belum
ada. Mereka tidak diberdayakan untuk kepentingan kemandirian pangan secara
optimal. Tidak sedikit yang beralih profesi ke pekerjaan non pertanian. Ini
sangat tragis. Seharusnya dilakukan kemitraaan antar kementerian, terutama pertanian, BUMN, perdagangan, dan institusi
penghasil sarjana pertanian untuk membangun kemandirian pangan.
Pengawasan dan pembinaan di bidang
pertanian juga tidak dilakukan secara serius, sehingga upaya membangkitkan sektor pertanian
pangan tersebut masih belum tercapai. Fakta di lapangan menunjukkan kenyataan lain. Revitalisasi yang
dilakukan dengan tujuan akhir menyejahterakan petani justru malah makin
meminggirkan petani. Di manakah fungsi Irjen pertanian?
Konstitusi kita jelas mengamanatkan pencapaian kedaulatan
pangan. Untuk
mencapai ini tak ada pilihan lain selain bersungguh-sungguh membangun pertanian
pangan dan petani. Situasi sekarang menunjukkan pemerintah mengabaikan amanat
itu. Target swasembada tahun 2014, hampir
dipastikan tidak akan tercapai walaupun terjadi peningkatan produksi, namun hal tersebut
belum cukup untuk mengeluarkan Indonesia
dari jeratan impor. Laju impor yang besar menempatkan negara dalam ‘kuasa’
pihak lain dan mengindikasikan kegagalan menjaga kedaulatan.
Pembangunan pertanian yang dilakukan setengah hati menimbulkan implikasi munculnya ancaman kirisis pangan. Jika pembangunan pertanian gagal, impor akan kembali meningkat. Hal ini diperlukan sinergi/penyelarasan antara kebijakan pusat dan daerah serta pemberdayaan Irjen dan institusi penghasil sarjana pertanian. Tanpa usaha itu diyakini persoalan-persoalan di pertanian sulit diatasi. Sehubungan dengan itu, paket kebijakan yang bisa menyelamatkan petani dan keluar dari ancaman krisis pangan mendesak dilakukan. Pemberian stimulus harga dasar dan proteksi kegagalan panen kepada petani segera dilakukan. Selain itu segera merealisasikan janji reformasi agraria sebagai kunci jaminan produksi. Apabila hal itu tidak dilakukan, liberalisasi semakin kuat, tidak ada perubahan orientasi kebijakan pangan maka diprediksi, Indonesia akan mengalami krisis pangan parah di pertengahan periode pemerintahan mendatang.
Pembangunan pertanian yang dilakukan setengah hati menimbulkan implikasi munculnya ancaman kirisis pangan. Jika pembangunan pertanian gagal, impor akan kembali meningkat. Hal ini diperlukan sinergi/penyelarasan antara kebijakan pusat dan daerah serta pemberdayaan Irjen dan institusi penghasil sarjana pertanian. Tanpa usaha itu diyakini persoalan-persoalan di pertanian sulit diatasi. Sehubungan dengan itu, paket kebijakan yang bisa menyelamatkan petani dan keluar dari ancaman krisis pangan mendesak dilakukan. Pemberian stimulus harga dasar dan proteksi kegagalan panen kepada petani segera dilakukan. Selain itu segera merealisasikan janji reformasi agraria sebagai kunci jaminan produksi. Apabila hal itu tidak dilakukan, liberalisasi semakin kuat, tidak ada perubahan orientasi kebijakan pangan maka diprediksi, Indonesia akan mengalami krisis pangan parah di pertengahan periode pemerintahan mendatang.
Umi Salamah, Ka. Prodi PBSI IKIP Budi
Utomo Mlang dan Dosen Universitas Brawijaya Malang
0 comments:
Post a Comment