Monday, November 10, 2014

Posted by Unknown | File under :


GRAMSCIAN WS RENDRA TOWARDSHEGEMONY  OF THE ORDE BARU:  ELEVATING THE LITERATURE OF INDONESIA TOWARDS LITERARYWORLD
UmiSalamah
IKIP Budi Utomo Malang, Jl. Simpang Arjuno 14B Malang





 












Abstract: Literatureaspartof thecultureis a reflection ofthe civilizationof a nation.Indonesian literature is a form of thinking about the public disclosure of new Indonesian. Along with the growing opportunities that Indonesian language will become the international language; the development of Indonesian literature to become citizens of the world literature is a necessity to be done. Literary works qualified need to be publicized through a variety of events, including readings, performances, discussions learning, and the publication. Resistance of WS Rendra to the socio-economic depravity, which is the spirit of nationalism, was glorifiedby Rendra in his poems to make thebetter changes. As one of the organic intellectual in Gramsci's view, Rendra not fight alone. He's looking for group support in a way other intellectual read and performing his work, documenting, socializeing, and discuss it in at arts institutions and universities both in Indonesia and abroad. WS Renda as organic intellectuals repressed society who want to provide a lesson for the public to be aware of the situation of the oppressed, to further voice their opposition to the powers that tend to be tyrant. Discussion of the research results on the works of WS Rendra in Gramsci's perspective is one way to raise the existence of Indonesian literature as citizens of the literarary world.

Key Word: Resarch of Indonesian  literatur,Gramscian WS Rendra,  towards literaryworld

GRAMSCIAN WS RENDRA MELAWAN HEGEMONI ORDE BARU: MENGANGKAT SASTRA INDONESIA MENJADI WARGA SASTRA DUNIA
Umi Salamah
IKIP Budi Utomo Malang, Jl. Simpang Arjuno 14B Malang

Abstrak: Sastra sebagai bagian dari kebudayaan merupakan cermin peradaban suatu bangsa. Sastra Indonesia merupakan salah satu bentuk pengungkapan pemikiran tentang masyarakat baru Indonesia. Seiring dengan makin besarnya peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia untuk menjadi warga sastra dunia merupakan keniscayaan untuk dilakukan. Karya-karya sastra yang berkualitas perlu dipublikasikan melalui berbagai even dan pers. Perlawanan WS Rendra terhadap kebobrokan sosial-ekonomi akibat hegemoni Orde Baru,  diteriakkan melalui sajak-sajaknyan agar terjadi perubahan yang lebih baik. Sebagai salah satu intelektual organik dalam pandangan Gramsci, Rendra tidak berjuang sendirian. Dia mencari dukungan kelompok intelektual lainnya dengan cara membacakan, mementaskan, mendokumentasikan,  dan mendiskusikannya di lembaga-lembaga kesenian dan perguruan-perguruan tinggi di Indonesia dan di luar negeri. WS Rendra sebagai intelektual organik dari masyarakat yang terepresi ingin memberikan suatu pembelajaran bagi masyarakat luas agar sadar akan keadaannya yang tertindas, untuk selanjutnya menyuarakan perlawanan pada kekuasaan yang cenderung tiran. Pembahasan hasil riset dan publikasi dalam jurnal internasional  terhadap karya-karya WS Rendra dalam perpektif Gramsci ini merupakan salah satu upaya mengangkat eksistensi sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia.
Kata kunci: Penelitian sastra Indonesia, Gramscian WS Rendra, menuju warga sastra dunia


PENDAHULUAN
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengangkat eksisitensi karya sastra di kancah global sebagai warga sastra dunia. WS Rendra merupakan salah satu  sosok penyair yang berani berbeda pada zamanya dan berani menerobos eksisitensi sastra dunia. Dia menempatkan diri sebagai intelektual organik yang memperjuangkan bangsa dan negara pada zamannya dari tirani hegemoni dan dominasi Orde Baru. Dengan kepiawaiannya mengolah kata dan keberaniannya memperjuangkan nilai-nilai kemanusian dan sosial pada zamannya, dia mengangkat karya-karyanya menjadi sastra warga dunia. Dalam artikel ini dibahas tentang (1) perlawanan WS Rendra terhadap hegemoni orde baru, (2)  Gramscian WS Rendra layak menjadi objek riset masalah sosial politik pada zamannya, dan (3) mengangkat sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia.

CARAMENGANGKAT SASTRA INDONESIA MENJADI WARGA SASTRA DUNIA
Sastra Indonesia merupakan salah satu bentuk pengungkapan pemikiran tentang masyarakat baru Indonesia(Rumusan Seminar Politik Bahasa tahun 1999, Michele. 1991).Dalam perkembangan selanjutnya, sastra Indonesia menjadi media ekspresi berbagai gagasan modern, pencerminan jati diri yang diilhami baik oleh sumber-sumber kebudayaan tradisi maupun oleh kebudayaan modern. Itulah sebabmya sejak lahirnya sastra Indonesia pada tahun 1920-an sampai saat ini, sastra Indonesia diharapkan memiliki jati diri sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia dan adaptable serta memiliki daya saing terhadap perkembangan sastra dunia.
Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra Indonesia mempunyai fungsi untuk (1) menumbuhkan rasa kenasionalan, (2) menumbuhkan solidaritas kemanusiaan, dan (3) merekam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia pada zamannya. Untuk memenuhui fungsinya itu, diperlukan upaya pembinaan sastra Indonesia yang meliputi pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan, serta pengembangan sastra yang meliputi penelitian dan pemeliharaan(Rumusan Seminar Politik Bahasa tahun 1999). Akan tetapi upaya pembinaan sastra Indonesia sampai saat ini belum mendapat sambutan yang baik dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia, sehingga perkembangan sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia masih tertatih-tatih. Penghargaan masyarakat terhadap sastra Indonesia masih dalam kategori sangat rendah, bahkan di institusi pendidikan pun belum menampakkan antusias untuk menghargai produk budaya ini. Fenomena semacam ini sangat tidak kondusif untuk perkembangan sastra Indonesia, apalagi mengangkat menjadi warga sastra dunia.
Seiring dengan makin besarnya peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia untuk menjadi warga sastra dunia merupakan keniscayaan untuk dilakukan. Karya-karya sastra yang berkualitas perlu dipublikasikan melalui berbagai even dan pers, di antaranya pembacaan, pementasan, penelitian, perbincangan, penggunaan sebagai media pembelajaran belajar bahasa, dan publikasi hasil riset terhadap karyanya. Peningkatan publikasi karya sastra maupun hasil riset tentang sastra Indonesia dalam berbagai media dan momen itu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan penghargaan terhadap karya sastra Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan demikian upaya mengangkat sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia menjadi lebih mudah.
DiterbitkannyaModern Library of Indonesia yang berisi seri terkini hasil karya sastra Indonesia modern diharapkan menjadi salah satu usaha untuk meningkatkan peranan sastra Indonesia di panggung dunia. Penerbitan seri buku Modern Library of Indonesiayang dilatari oleh cita-cita besar bahwa sastra adalah bagian kebudayaan yang penting, maka buku yang disunting John McGlynn itu, diharapkan dapat menjadi jembatan ke pembaca asing. Dengan demikian, pembaca asing tidak hanya dapat mengikuti perkembangan sastra Indonesia dari zaman ke zaman, melainkan juga pengamat luar akan dapat lebih menghayati kekuatan politik dan sosial yang ikut mengejawantahkan negara Indonesia.
.           WS Rendra merupakan salah satu sastrawan yang berhasil mengangkat karyanya menjadi warga sastra dunia. Kegigihan WS Rendra dalam menggambarkan peradaban pada zamannya memiliki keunikan yang berbeda dari pengarang lainnya. Inilah salah satu daya pukau pembaca dan penikmat terhadap karya-karya WS Rendra. Upaya publikasi yang dilakukan WS Rendra terhadap karya-karyanya juga memiliki dampak yang sangat besar terhadap eksistensi sastra Indonesia. Nama besar WS Rendra tidak dibangun secara instan, tetapi diperlukan kemauan keras, rasa percaya diri, keunikan, dan publikasi yang keras termasuk beraliansi dengan pers dan berkonektivitas dengan berbagai lembaga pendidikan dan birokrasi yang mendukung proses kreatifnya.

PERLAWANAN WS RENDRA TERHADAP HEGEMONI ORDE BARU MENCERMINKAN PERADABAN INDONESIA PADA MASA ITU
Sastra sebagai bagian dari kebudayaan merupakan cermin peradaban suatu bangsa. WS Rendra menjadi pembeda dari penyair lainnya pada zamannya, karena melalui kepiawaiannya dalam mengolah kata, ketajamannya dalam melihat, mendengar, dan merasakan situasi dan kondisi sosial politik masyarakat pada masa itu membuat karyanya menjadi karya fenomenal yang mudah dicerna dan menimbulkan empati pada para intelektual organik dan kelompok masyarakat yang tersakiti, sehingga mampu menjadi alat perlawanan yang efektif. Dalam kutipan puisinya ‘Sajak Sebatang Lisong’ dapat dilihat bagaimana dia geram terhadap kerja kesenian saat itu, yang tidak memberikan banyak perhatian pada situasi sosial yang ada:
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang berpuisi tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian (1993:34)

Menurutnya, kerja seni yang tidak mempunyai relevansi dengan kehidupan sosial menjadi ‘karpet merah’ bagi Orba untuk terus melenggang dalam kekuasaan, dan bahkan cenderung menjadi otoriter. Kesenian menjadi apolitis, sehingga ruang yang tersedia pada setiap kerja kreatif untuk melakukan kontrol sosial tidak dijalankan. Ini sesuai dengan apa yang diharapkan oleh rezim Orba. Kapendam V Jaya saat itu, Anas Malik berpendapat bahwa sebaiknya seni jangan dihadapkan sebagai oposisi melawan pemerintah (Haryono, 2005:269). Menjadi jelas bahwa bentuk seni sastra yang berkembang ketika itu juga tidak luput dari kerja hegemoni penguasa Orde Baru. Lebih lanjut Rendra menulis:

inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan (1993:37)

            Posisi Rendra dalam situasi sosial ketika Orba tengah mencengkramkan dominasi dan hegemoninya adalah sebagai intelektual organik yang menyediakan diri untuk terjadinya kemungkinan counter hegemony atau sikap perlawanan. Intelektual organik seperti Rendra yang terur-menerus melakukan perlawanan tersebut pada akhirnya akan menentukan apakah situasi status quo yang menguntungkan penguasa terus berlangsung, atau berganti dengan penguasa baru.
Periode 1970-an sampai dengan reformasi, karya Rendra mengalami perubahan, dari karya-karya sebelumnya, yaitu dari karyayang penuh dengan estetika dan magis ke karya yang banyak menyoroti masalah sosial di Indonesia. Estetika melalui misteri, ambiguitas, mistis, dan kemesraan, yang menjadi kekuatan pada puisi-puisi terdahulunya, mulai ditanggalkan. Dimulai dari Potret Puisi dalam Pembangunan (PPDP), Rendra tidak lagi menjadikan estetika sebagai motif utama dalam kepenyairannya. Hal tersebut dilakukan karena, Rendra tidak mau terasing dari dunia politik yang ada pada zamannya (Gendut Riyanto dalam Haryono, 2005:276).
Rendra telah menjadikan puisi dan aktivitas seni lainnya sebagai sarana perlawanan terhadap penguasa yang dianggapnya lalim dan tiran, yakni Orde Baru. Karya-karyanya cenderung menjadi karya kreatif yang mengedepankan aspek sosial-politis daripada estetis (Sarjono, 2001). Disebut sosial-politis, sebab yang menjadi tujuan akhir dari karya kreatifnya bukan lagi perkara estetika saja, melainkan tujuan praktis berupa cita-cita perubahan sosial yang signifikan. Terlebih lagi, karya kreatif tersebut secara sadar difungsikan sebagai alat untuk mendelegitimasi kekuasaan penguasa di mata rakyatnya. Aktivitas melakukan riset dan pendataan fakta inilah yang semakin menguatkan posisi sosial-politis puisi-puisi pamplet, sebagaimana dalam kutipan di bawah ini:

“Sadarlah saya, bahwa saya akan kehilangan nuansa misteri. Ya saya harus mengikhlaskan diri untuk tidak memakai pesona misteri dan “ambiguity” yang menjadi kekuatan puisi sebelumnya .... Inilah yang ingin dan maksudkan di dalam menulis puisi sosial-ekonomi-politik, yaitu relevansi sosial,” (Rendra dalam Haryono, 2005:277).

Rendra banyak berbicara tentang masalah sosial ekonomi berdasarkan hasil riset dan pendataan fakta yang ada di tengah masyarakat saat itu. Perlawanan terhadap kebobrokan sosial-ekonomi pada masa itu diteriakkan melalui sajak-sajaknyan, drama, dan filmnya agar terjadi perubahan yang lebih baik. Sebagai salah satu intelektual organik dalam pandangan Gramsci, Rendra tidak berjuang sendirian. Dia mencari dukungan kelompok intelektual organik lainnya dengan cara membacakan, mementaskan, mendokumentasikan, mempublikasikan. dan mendiskusikannya dalam sarasehan yang diselenggarakan di lembaga-lembaga kesenian dan perguruan-perguruan tinggi besar di Indonesia dan di luar negeri.
Dengan meminjam konsep Gramsci tentang kontra hegemoni (Ritzer, 1992), dapat dikatakan bahwa WS Rendra sebagai intelektual organik masyarakat yang terepresi ingin memberikan suatu pembelajaran bagi masyarakat luas agar sadar akan keadaannya yang tertindas, untuk selanjutnya menyuarakan perlawanan pada kekuasaan yang cenderung tiran.
Perjuangan WS Rendra tidak sia-sia. Publikasi yang dilakukan di berbagai even dan media dalam dan luar negeri telah menginspirasi dan memompa semangat intelektual organik lainnya untuk melakukan reformasi. Tahun 1998 merupakan puncak dari kekesalan para intelektual organik Indonesia untuk keluar dari cengkeraman hegemoni dan dominasi Orde Baru yang makin tiran dan keinginan yang kuat untuk melakukan perubahan. Dalam konteks ini, keterkaitan antara dominasi, hegemoni, dan peran intelektual organik dalam melawan hegemoni kekuasaan Orde Baru sangat menonjol dalam karya-karya WS Rendra era 70-an sampai reformasi.

GRAMSCIAN WS RENDRA LAYAK MENJADI OBJEK RISET MASALAH SOSIAL POLITIK ZAMANNYA
WS Rendra menjadi fenomena yang menarik karena ketika Orde Baru tengah berada pada masa kejayaannya, puisi-puisi pamfletnya, karya-karya drama, dan filmnya dibacakan, dipentaskan, dan diputar di kota-kota besar, di dalam dan di luar negeri. Acara pembacaan puisi, sarasehan kebudayaan, pementasan drama, dan pemutaran filmnya selalu dibanjiri oleh penonton, bahkan hujan dan terundurnya waktu dua jam pun tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menunggu sang penyair membacakan puisi-puisinya, menyampaikan orasinya, maupun mementaskan dramanya. Pada umumnya para penonton mengagumi W.S. Rendra karena beberapa hal (1) keberaniannya, (2) kehebatan dalam berkomunikasi dan daya tarik kharismatiknya, (3) puisi-puisinya mudah dipahami dan membawakan keadaan zamannya (Kompas, Rabu, 1 Mei 1978).
Rendra memberikan pemaknaan alternatif terhadap realitas yang ada di masyarakat, yang selalu menjadi monopoli penguasa. Pemaknaan tersebut berupa pandangan-pandangan bagaimana seharusnya apek pendidikan, hukum, ekonomi, dan politik dijalankan. Hal ini mengantarkan WS Rendra berhadapan dengan rezim Orba sebagai penguasa tiran negara pada zamannya.
Sebagaimana halnya catatan sejarah di tempat-tempat lain, kekuasaan yang terlalu mutlak pada akhirnya akan berubah menjadi struktur yang menindas(Davidson, 1968). Slogan pencitraan pembangunan dan stabilitas nasional yang digunakan sebagai alat kekuasaan hegemoni Orde Baru membuat nilai-nilai kemanusaiaan di Indonesia pada masa itu mati suri.Pembunuhan, penculikan, penahanan terhadap tokoh-tokoh politik dan mahasiswa-mahasiswa yang kritis dilakukan atas nama stabilitas nasional dan pembangunan. Atas nama itu pula, segala tindakan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah dianggap wajar.
Orba menjadi sistem pemerintahan yang tidak memungkinkan munculnya pilihan kedua atau alternatif. Atas nama stabilitas, segalanya dikomando dari atas ke bawah. Pembangkangan berarti melawan negara yang memiliki konsekuensi hukum. Hal ini terjadi di setiap lini kehidupan (Aritonang, 1999). Garis komando pemerintah Orba yang tegas dan berkonsekuensi hukum itu tidak hanya terdapat pada wilayah ekonomi dan politik saja, tapi juga merambah wilayah-wilayah lain. Dunia pendidikan dan kebudayaan pun tidak luput dari cengkraman pemerintah Orba. Melalui aparatusnya,Orba mengontrol setiap aktivitas kebudayaan masyarakat dan produk budaya yang dihasilkan. Dengan hegemoni dan dominasi semacam itu, ketika Indonesia terjadi praktik korupsi besar-besaran, peculikan, pembunuhan, penggusuran, pengambilalihan  lahan pertanian, penggundulan hutan, sebagian besar intelektual, terutama intelektual tradisionaljustru hanya diam saja, Gramsci menyebutnya Go to silent. Kondisi semacam ini menurut WS Rendra harus dilawan.
Pada zamannya, Rendra terpilih sebagai seorang intelektual organik yang berperan memberikan pencerahan terhadap masyarakatnya. Sebagai intelektual organik, WS Rendra mengakui hubungan dengan kelas sosial tertentu, yakni masyarakat yang tertindas, mendorongnya untuk memberikan kesadaran akan fungsinya, khususnya pada bidang sosial-politik, dan bergabung dalam kelompok-kelompok revolusiner untuk men-support dan meng-counter hegemony pada sebuah transformasi sosial yang direncanakan, walaupun memiliki resiko yang sangat besar dan membahayakan (Barrett, 1991:3-7; Patria, 2003:161).
Eksistensi WS Rendra sebagai seorang intelektual organik dapat dilihat dari berbagai macam konsep pembangunan dan masyarakat yang tertera dalam karya-karyanya. WS Rendra mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada, dan bergabung dalam kelompok-kelompok revolusioner untuk melakukan counter hegemony terhadap kekuasaan yang mapan. Hal ini dapat dilihat ketika WS Rendra sering terlihat pada aksi-aksi mahasiswa yang berdemonstrasi menggugat penguasa.
Gramscian WS Rendra memiliki perbedaan strategi dari penggagasnya yakni Antonio Gramsci. Apabila Gramsci sebagai intelektual organik berjuang tanpa didukung oleh banyak intelektual organik sehingga ketika ia dijebloskan ke dalam penjara sampai akhir hayatnya, ia hanya bisa melawan hegemoni kekuasaan pada masanya melalui tulisan-tulisan yang dibuat di balik tirali besi, tanpa mampu mempublikasikannya.
Sebaliknya perlawanan WS Rendra terhadap hegemoni Orde Baru mendapat dukungan dari banyak intelektual organik lainnya. Dukungan para intelektual organik kepada WS Rendra dalam melawan hegemoni Orde Baru diperoleh melalui berbagai cara. Dengan mengusung misi memberikan pencerahan pada masyarakat tentang keadaan mereka yang sebenarnya dan dalam rangka mencari dukungan intelektual organik lainnya, karya-karya Rendra dipublikasikan di berbagai tempat, seperti di ITB, UI, Universitas Atmajaya, Universitas Taruma Negara, Universitas Trisakti, Universitas Gajah Mada, Taman Ismail Marzuki, dan beberapa kampus serta instansi dalam maupun luar negeri. Selain membacakan puisi-puisinya, Rendra juga diundang sebagai penceramah “kebudayaan” di berbagai perguruan tinggi. Bahkan, setiap momen pembacaan yang diikuti dengan sarasehan dan ceramah turut didokumentasikan menjadi buku oleh berbagai media.Itulah sebabnya perlawananWS Rendra dalam melawan Orde Baru dapat diwujudkan. Puncak dari gerakan perlawanan terhadap hegemoni Orde Baru terjadi 1998, yaitu terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi.
Pembahasan hasil riset terhadap karya-karya WS Rendra dalam perpektif Gramsci dalam forum seminar internasional dan publikasinya merupakan salah satu upaya mengangkat eksistensi sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia. Semakin banyak penelitian dan publikasi hasil riset terhadap sastra Indonesia di seminar ilmiah internasional, akan membawa dampak keingintahuan seluruh pembaca dan peserta seminar untuk membaca dan mempelajari karya-karya yang diteliti dan dipublikasikan.


PENUTUP
Ibarat banyak jalan menuju roma, selalu ada banyak cara untuk mengangkat sastra Indonesia menjadi sastra dunia. Peningkatan kesadaran dan cita-cita besar bahwa sastra adalah bagian kebudayaan yang penting bagi suatu bangsa, penyelenggaraan berbagai lomba menulis dan publikasi karya sastra sampai tingkat internasional, penghargaan terhadap karya sastra yang berkualitas,publikasi dalam berbagai even terhadap karya sastra yang berkualitas termasuk mengangkat sastra ke industri kreatif. Yang tidak kalah pentingnya, sastrawan harus pandai beraliansi dengan Pers.
Selain itu, publikasi terhadap hasil riset karyasastra Indonesia dalam berbagai seminar, dan jurnal internasional, merupakan cara efektif  untuk mengangkat sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia. Tentu saja hal ini perlu dukungan dari berbagai pihak, baik dari kalangan birokrasi (khususnya pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan industri kreatif), pelaku usaha, dan generasi muda masyarakat Indonesia. 

DAFTAR RUJUKAN
Aritonang, Diro. 1999. Runtuhnya Rezim Daripada Soeharto: Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998. Bandung: Pustaka Hidayah.
Barrett, Michele. 1991. The Politics of Truth: From Marx to Foucault. Chapter 4: ‘Ideology, Politics, Hegemony: From Gramsci to Laclau and Mouffe’, hal. 51-80.
Bourdieu, Pierre. 1991, Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press.

Creswell, John W. 2010. Research Desain Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed the Thirth Edition. Diterjemahkan oleh Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ok, G. 1994. Discourse and Literature: Interplay of Form and Mind. New York: Oxford University Press.
Davidson, Alastair. 1968. Antonio Gramsci, The Man, His Ideas. Sydney: Australian Left Review Publications.
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonnas S. 1977. Handbook of Qualitative Research. Diterjemahkan oleh Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi tahun 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
____. 1995. Perlawanan Tak kunjung Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gadamer, Hans-Georg. 2010. Kebenaran dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gramsci, Antonio. 1976. Selection from the Notebook. Hoare dan Nowell Smith (ed). New York: International Publishers.
______________. 2013. Prison Notebooks: Catatan-catatan Dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haryono, Edi. 2005. Membaca Kepenyairan Rendra. Yogyakarta: Kepel Press.
Kompas, 28 April 1970. WS Rendra Ditangkap dan Di-skogar-kan Semalam.
Kompas, 28 April 1978. Rendra Telah Menjadi rabindranath Ragore, hal. 5
Kompas, 2 Oktober 1978 WS Rendra Dibebaskan.
Pikiran Rakyat, Minggu 23 Maret 1986. Zaman Cacat, Rendra dan Ranggawarsita.
Gatra, 18 November 1996 hal 24—25. WS Rendra Beraliansi dengan Pers.
Kompas, 6 Januari 1997. WS Rendra:  Pemimpin Perlu Hayati Hati Nurani.
Paji Masyarakat No. 527. WS Rendra: Perlu Ditegakkan Kedaulatan Manusia.
Kompas, 18 Mei 1998. WS Rendra: Kesenjangan Sosial, Ekonomi, dan Politik.
Kompas,24-30 Juni 1999: Politisi Kita Nggak Ngerti Sejarah.
Kompas, 19 Mei 2000. Rakyat Indonesia Belum Merdeka.
Warta Kota, Senin 2, Oktober 2002. Orasi Budaya Rendra: Elie Indonesia Masih Primitif.
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. 1992. Sociological Theory. Singapore: McGraw-Hill.
Sassoon, Anne Showstack (1987). Gramsci’s Politics. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Sarjono, Agus R. 2001. Sastra Dalam Empat Orba. Yogyakarta: Bentang
Van Dijk, Teun A. 1993. Discourse and Cognition in Society, dalam Communication Today, diedit oleh Mitchell dan Crowley. Oxford: Pergamon Press.
_______________. 1997,Discourse as Structure and Process. London: Sage.
Wareing, Shan dan Linda Thomas.2007.Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

0 comments:

Post a Comment