Membangun
Kemandirian di Bidang Pertanian
Berantas Mafia,
Bangun Sinergi antar kementerian dan antarinstitusi (3)
Oleh Umi Salamah
Wahai bangsa Indonesia, bangkitlah
Jangan mengeluh, jangan mengeluh,
jangan mengeluh, karena mengeluh itu tanda kelemahan jiwa (Soekarno)
Apalagi lempar batu sembunyi tangan
Mafia sama bahanyanya dengan koruptor, Jadikan musuh
bersama negara
Mundurnya menteri perdagangan, Gita Wiryawan di tengah-tengah
polemik melubernya beras impor yang
tidak sesuai dengan peraturan pemerintah menjadi tanda tanya besar bagi rakyat.
Meskipun berbagai alasan dan pembelaan dari dirinya dan partai Demokrat tetapi
fakta yang terkesan ditutup-tutupi ini menunjukkan bahwa Gita Wiryawan bukanlah
negarawan yang handal dan bertanggung jawab. Di sisi lain, dialog Menteri
Pertanian dalam acara Sentilan-sentilun menunjukkan bahwa lembaga kementerian
pertanian di Indonesia sangat lemah bahkan tidak berdaya. Kementan menuduh
Kemendaglah yang harus bertanggung jawab terhadap masalah impor beras dan
produk pertanian lainnya. Demikian juga dengan masalah distribusi pupuk yang
tidak pernah memihak petani. Kementan juga menuduh kementrian BUMN sebagai
pihak yang bertanggung jawab atas pendistribusian pupuk. Mengapa harus lempar
batu sembunyi tangan. Mereka saling melempar tanggung jawab. Mereka seharusnya tidak bersikap masa bodoh
seperti itu kalau memiliki jiwa negarawan. Seorang negarawan akan selalu komit
menjunjung tinggi kepentingan rakyat dan negara di atas kepentingan pribadi dan
golongan. Dialog bersama Presiden RI kedua, Habibi dalam acara Mata Najwa
hendaknya dijadikan tauladan bagaimana menjadi seorang negarawan sejati. Di manakah peran menteri koordinator, kenapa
tidak ada usaha untuk membangun sebuah sinergi
yang bertujuan memakmurkan rakyat.
Sungguh kenyataan yang sangat ironis, di saat petani
panen, pemerintah justru mengimpor beras sebanyak-banyaknya, dan di saat petani
butuh pupuk, pupuk menjadi sangat langka. Fenomena ini
benar-benar membuat petani Indonesia semakin terpuruk dan bertambah miskin. Akibatnya mereka banyak yang menjual tanah dan beralih profesi menjadi tenaga kerja buruh dan pedagang kecil. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan segaligus sangat berbahaya bagi ketahanan pangan nasional. Ada apa dengan pemerintah kita dan kinerja di kementerian kita saat ini.
benar-benar membuat petani Indonesia semakin terpuruk dan bertambah miskin. Akibatnya mereka banyak yang menjual tanah dan beralih profesi menjadi tenaga kerja buruh dan pedagang kecil. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan segaligus sangat berbahaya bagi ketahanan pangan nasional. Ada apa dengan pemerintah kita dan kinerja di kementerian kita saat ini.
Beberapa tahun yang lalu WS Rendra, penyair kawakan
Indonesia di era 1970-1980an pernah menuliskan “Kita sendiri mesti merumuskan
keadaan... Kita mesti terjun ke jalan-jalan raya, ke luar ke desa-desa....
menghayati semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata”. Apabila apa yang
dikatakan oleh Rendra itu diterapkan oleh pejabat kementerian, maka kebijakan
yang diambil pasti memihak kepada rakyat. Sayangnya, para pejabat lebih percaya
pada mafia dibanding hasil riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi.
Seandainya saja, hasil riset dan sumber daya manusia yang dihasilkan oleh
perguruan tinggi diberdayakan secara optimal, maka pertanian di Indonesia akan
berkembang dengan sangat baik. Mestinya pejabat kementerian jeli dan waspada
terhadap akar permasalahan runtuhnya pertanian di Indonesia. Sebenarnya sudah
sangat jelas bahwa akar permasalahan utama
ketidakberdayaan pertanian di Indonesia disebabkan oleh sepak terjang mafia
pertanian.
Mafia pertanian sudah sangat berbahaya bagi kelangsungan
hidup petani dan pertanian di Indonesia. Perizinan impor beras, misalnya, diduga menjadi lahan empuk untuk
mengeruk uang haram para politisi bersama mafia beras. Pasalnya banyak keanehan
yang terjadi terkait dengan data konsumsi beras nasional dan perubahan pos
tarif (kode harmonized system/HS Code) pada tahun 2012.
Pengamat pertanian, Khudori
mencurigai ada permainan kelas tinggi terkait perubahan kode HS (harmonized
system) beras yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2012. Dia menyebut, berdasar Buku Tarif Kepabeanan tahun 2008, kode HS
untuk beras medium dan beras khusus sebelumnya dibedakan, tapi tiba-tiba tahun
2012 kode HS keduanya disatukan. Ada apa dengan penyatuan kode HS itu. selain tidak ada pembedaaan, Bea
Cukai juga tidak mememeriksa secara ketat beras impor yang masuk ke pelabuhan. Padahal, kedua jenis beras itu
fisiknya maupun importirnya
berbeda. Lebih lanjut dia juga mempertanyakan mengenai penggunaan angka konsumsi beras
nasional sebesar 139 kilogram pertahun per orang sejak 1996. Padahal pada tahun 2012, BPS
bersama Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian sudah melakukan survei dan
menyimpulkan bahwa konsumsi beras nasional sebenarnya hanya 113 kilogram
pertahun. Jika perbedaan ini dikalikan jumlah penduduk Indonesia,
berapa banyak kerugian negara yang mestinya dapat dialokasikan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sungguh sangat ironis dan tragis.
Diperlukan sinergi antar kementerian
dan antarinstusi
Sejak dulu, pendiri negara ini sudah menempatkan
pertanian sebagai basis ekomomi kerakyatan. Hal itu diperkuat dengan UUPA tahun
1960. Sayangnya pemeritah saat ini tidak mampu melindungi petani yang sangat
berjasa memenuhi kebutuhan bangsa. Kemandirian di bidang pangan menjadi jauh
dari harapan. Padahal di masa yang akan datang pemerintah dihadapkan pada
krisis pangan dan permainan perdagangan global. Mengapa Irjen pertanian seperti
tidak mememiliki fungsi untuk melindungi petani. Mengapa
Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian (Irjen Kementan) tidak berani memberikan sanksi kepada Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) yang menangani tender Pengadaan Pupuk dan impor hasil
pertaian. Mestinya irjen
Kementerian Pertanian merapat dengan KPK untuk bersama-sama memberantas mafia
itu.
Tahun
2013 dicanangkan sebagai
swasembada beras tapi masih impor beras khusus yang ternyata malah isinya beras
medium. Bagaimana mampu mewujudkan swasembada pangan,
terutama di komoditas padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Sementara kenyataannya, pemerintah masih tergantung pada
impor untuk memenuhi kebutuhan masyakarat akan lima komoditas pokok tersebut. Pemerintah
belum ada kemauan baik untuk membina dan memberikan stimulus pada pertanian di
Indonesia. Nampaknya, selain memberantas mafia pertanian, sinergi antara
kementrian pertanian, perdagangan, perindustrian, dan BUMN sangat diperlukan.
Selain, pemberdayaan hasil riset dan sumber daya manusia yang dihasilkan
perguruan tinggi merupakan hal yang niscaya dilakukan. Dengan demikian
cita-cita tentang kemandirian di bidang pangan akan terwujut.
Umi Salamah, Ka. Prodi PBSI IKIP Budi Utomo Mlang dan
Dosen Universitas Brawijaya Malang
0 comments:
Post a Comment