Oleh: Umi Salamah
Membangkitkan
semangat patriotisme dan nasionalisme tidak harus dengan “kekerasan”.
Menang
atau bisa bertahan dalam medan
perang sangat tergantung pada strategi yang dimainkan. “Perang” terbesar saat
ini adalah melawan hegemoni kapitalis dalam berbagai bidang yang merupakan
perwujudan dari neoimperialis. Cara yang dilakukan oleh para teroris dengan bom
bunuh diri atau mengebom yang dilakukan atas nama melawan kapitalis merupakan
tindakan “konyol” dan sia-sia. Image
“bodoh” dan “jahat” akan menempel pada pelaku pengeboman dan kelompoknya. Yang
lebih fatal jika asal negara pengebom juga dijuluki sebagai negara teroris.
Lebih fatal lagi apabila pelabelan tersebut diperlakukan bagi seluruh
masyarakat dari negara yang disebut sebagai asal “teroris”. Seharusnya perang
kecerdasan harus dilawan dengan kecerdasan, pencitraan dilawan dengan
pencitraan, difusi kebudayaan harus dilawan dengan kekuatan kebudayaan sendiri.
Diperlukan
Pendidikan yang berbasis kebudayaan Indonesia
Di bidang pendidikan, Ki Hajar Dewantoro berhasil
menancapkan pilar pendidikan yang sangat kuat melalui filosofi dan strategi
pendidikan berbasis kebudayaan. Pilar-pilar tersebut sangat kokoh, sesuai
dengan karakter dan kebudayaan bangsa Indonesia, serta fleksibel
sepanjang zaman. Pilar “Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, dan
tutwuri handayani” serta “Asah asih
asuh” adalah warisan kebudayaan yang sudah terbukti kehandalannya dalam
membentuk karakter bangsa yang patriotis dan nasionalis dalam segala bidang.
Pilar-pilar ini berhasil karena didukung oleh kebijakan politik pemerintah
zaman itu. Moralitas anak-anak pada saat itu benar-benar menghargai orang tua,
dan guru, agama dan ilmu, dan bangga terhadap bangsa dan negaranya. Keinginan
untuk memajukan bangsa merupakan cita-cita setiap anak bangsa.
Ironis, warisan budaya yang begitu adiluhung itu kini
seakan lenyap di telan masa. Para pengambil
kebijakan pendidikan cenderung lebih suka mengimpor model pendidikan dari asing
yang belum tentu cocok dengan kondisi di negeri ini. Pendidikan berbasis
“nano-nano” dan berbau kapitalis ini tidak membentuk karakter anak menjadi
lebih baik. Akibatnya, perilaku anak jauh dari fondamen kebudayaan bangsa Indonesia.
Sikap sopan-santun/tata-krama bergeser menjadi ‘urakan’ dan ‘sok jagoan’,
mentalitas kerja keras bergeser menjadi kemalasan dan untung-untungan, suka
menolong dan gotong royong bergeser menjadi egois dan suka berkelahi, sikap
produktif bergeser hedonis dan konsumtif, sikap optimisbergeser menjadi
psimis.
Untuk mengembalikan kepada pendidikan yang berbasis
kebudayaan kita harus berani bersikap teguh dan kokoh pada kebudayaan sendiri.
Pendidikan harus kembali pada basis kebudayaan yaitu Pansacila dan UUD 1945.
Model pendidikan kita juga harus diambil dari pilar yang berbasis kebudayaan
sendiri. Guru, kepala sekolah, dan orang tua harus bisa menjadi model bagi
pembentukan sikap pada anak. Apalagi tokoh-tokoh dan pemimpin harus bisa
memberikan tauladan yang baik dan bersikap konsisten terhadap nilai-nilai
kebudayaan bangsa yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan Indonesia
seharusnya adalah pendidikan yang mampu menjawab problema-problema dan
tantangan masyarakat Indonesia,
bukan pendidikan yang berorientasi pada teori kapitalis. Pendidikan harus
bertolak dari hasil riset masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang.
Misalnya di bidang pertanian seharusnya kita lebih maju daripada negara-negara
tetangga, karena kita memiliki lahan yang sangat luas, varietas tanaman yang
sangat banyak, dan sarjana pertanian yang lebih dari cukup baik dari kuantitas
maupun kualitas. Di bidang kelautan, seharusnya negara kita juga lebih maju
dari negara lain. Nenek moyang kita yang dikenal sebagai “pelaut” telah
memberikan tauladan keberanian dan kecanggihan teknologi pada zamannya. Mereka
berani mengarungi samodra dengan kapal yang diciptakan sendiri. “Kemandirian”
dan “keberanian” merupakan model dari pendiri negara kita yang berbasis
kebudayaan. Negara kita seharusnya menjadi pelopor di bidang pertanian dan
kelautan. Sangat ironis jika masalah “bawang putih, bawang merah, cabe, gula,
daging, dan beras” kita masih mengimpor dari negara tetangga.
Media
pembelajaran dan tontonan yang ditayangkan dalam berbagai media masa sudah
saatnya dikontrol. Kita harus memiliki media dan tontonan anak yang berbasis
pada hasil kebudayaan sendiri, yang merupakan hasil riset nilai-nilai kearifan
lokal dari dongeng sendiri dan visioner tokoh Indonesia yang telah sukses di
dalam maupun di luar negeri. Untuk menumbuhkan sikap optimis, penayangan
keberhasilan dan penghargaan anak-anak bangsa harus mendapat porsi yang lebih
besar dari gossip, kekerasan, mistis, dan kenakalan remaja.
Bercermin
pada Tokoh-tokoh Besar melawan neoimperialis
Telah banyak tokoh besar bangsa Indonesia yang
memberikan tauladan membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam
berbagai bidang tanpa kekerasan. Mereka berhasil apabila mendapat dukungan dari
masyarakat. Sebut saja Bung Karno dengan keberanian dan kepiawaian melawan
hegemoni politik dan kebudayaan kapitalis. Kecerdasan dan kepiawaian Bung Karno
dalam menegosiasi dan melobi dunia mendapat dukungan yang sangat besar dari
seluruh bangsa bahkan di seluruh dunia. Strategi itulah yang berhasil mengantar
Indonesia mencapai
kemerdekaan dan keharuman putra-putri bangsa Indonesia sebagai anak revolusi.
Putra-putri yang penuh rasa percaya diri dan bangga sebagai anak Indonesia di
kancah dunia.
Di bidang teknologi, Habibie dengan penguasaan
teknologi berhasil menakhlukkan teknologi penerbangan dan kereta api dunia.
Namanya membawa harum bangsa Indonesia
di kancah dunia. Di bidang perdagangan, Chairul Tanjung, Aburizal Bakrie,
Rachmad Gobel, Sukamdani Sahid Gito Sardjono, dan lainnya dengan strategi
bisnisnya mampu bersaing di kancah bisnis global. dan masih banyak anak bangsa
yang patut diteladani dan dicontoh serta menjadi inspirasi positif dengan
semangat optimis dapat membawa kemajuan bangsa dan negara ini. Di bidang teknologi
informatika, sebenarnya bangsa Indonesia
tidak kekurangan ahli. Banyak potensi mahasiswa dan siswa yang belum
terakomodasi secara maksimal oleh sistem kebijakan pemerintah. Akibatnya Indonesia belum
mampu mengkaunter derasnya pencitraan yang dihembuskan oleh negara-negara
kapitalis. Apa yang salah dengan negeri kita ini?
Hegemoni kapitalis di negeri ini telah merasuk ke
dalam pembuluh darah sebagian besar bangsa ini dalam berbagai bidang. Bahkan
telah merobek hati dan akal sehat sebagian bangsa ini. Rendahnya kualitas hidup
sebagian besar rakyat menyebabkan menurunnya kualitas mental dan moral bangsa.
Rasa kurang percaya diri dan bermental budak telah menggerogoti mentalitas
sebagian besar rakyat kecil, sementara budaya korupsi dan bermental koloni telah
memanjakan para pejabat dan sebagian besar birokrat negeri ini. Ini merupakan
imbas dari telah dibukannya kran kapitalis modern di Indonesia secara
besar-besaran di bidang pertambangan, industri raksasa, dan jaringan
perdagangan kapitalis.
Akibatnya masyarakat kita saat ini cenderung represif
dan terbius oleh kediaman. Keadaan seperti ini membuat kreativitas dan
produktivitas anak bangsa lumpuh, sehingga banyak orang yang lari dari idealism
demi kedudukan di tengah masyarakat. Meskipun dalam masyarakat kita terjadi
kepincangan-kepincangan, penyelewengan, dan penyimpangan sosial sudah dianggap
sebagai hal yang lumrah dan layak terjadi. Bagaimana tidak? Sebagaian besar
bangsa ini telah lama dininabobokan dengan budaya hedonis, pragmatis, dan
konsumtif. Bersenang-senang dengan jalan pintas, bekerja dengan jalan pintas,
belajar dengan jalan pintas, memperoleh jabatan juga dengan jalan pintas telah
menjadi trend yang dilakukan oleh sebagian besar bangsa ini. Mulai dari rakyat
kecil sampai dengan pejabat tinggi. Sikap ini menyebabkan kebiasaan untuk tidak
kritis, apatis, dan terkungkung dalam masyarakat yang tidak rasional
(mistis). Apakah karakter bangsa ini
sudah demikian jauh dari kebudayaan yang tercermin dalam Pancasila dan UUD
1945? Ironisnya hanya orang-orang tertentu yang menyadarinya.
Diperlukan
pemimpin visioner dan bermental neopatrionalisme dalam Melawan Kapitalis
Penguasaan media oleh kapitalis menjadikan bangsa ini
tidak berdaya dan krisis rasa percaya diri. Media memiliki peranan yang sangat
penting dalam membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme. Namun media
juga berperan besar dalam menghancurkan semangat tersebut. Pemberitaan dan
penayangan acara yang tidak seimbang antara prestasi dan dedikasi yang
diperoleh bangsa dengan penyimpangan-peyimpangan moral memberikan dampak yang
sangat fatal bagi masyarakat dan generasi muda. Penayangan penyimpangan moral,
seperti korupsi, manipulasi, perselingkuhan, perdukunan, perkelahian,
kecurangan, secara berulang-ulang justru memberikan dampak buruk berupa sikap
apatis terhadap keberadaan dan kemajuan bangsa dan negara.
Apalah artinya pencanangan pendidikan berbasis
pendidikan karakter apabila tidak didukung oleh tayangan media dan kebijakan
pemerintah yang tidak berbasis kebudayaan sendiri. Sebagian besar media di
negeri kita sudah dikuasai oleh kapitalis untuk tujuan melanggengkan keberadaan
kapitalis. Siapa yang berwewenang mengatur?
Diperlukan pemimpin yang visioner dan bermental neopatrionalis. Pemimpin
yang visioner dan bermental neopatrionalis akan selalu mendukung dan memberikan
peluang seluas-luasnya kepada rakyat untuk eksis dan memajukan bangsanya.
Pemimpin yang berpegang teguh pada dasar negara dan konstitusi negara akan
selalu membela hak dan berpihak pada kemakmuran, keadilan, harkat, dan martabat
bangsa dan negaranya. Pemimpin yang tanggap terhadap problema dan tantangan
masyarakat bangsa dan negara selalu melihat permasalahan dan kebutuhan
rakyatnya sebagai bahan kajian peningkatan kualitas pendidikan, teknologi, dan
ilmu pengetahuan di negaranya. Pemimpin yang dapat menjadi contoh patrionalis
bagi rakyatnya adalah pemimpin yang teguh pendirian dan konsisten melaksanakan
dasar negara dan konstitusi negara serta berani melawan kebijakan kapitalis
yang tidak sesuai dengan dasar negara dan konstitusi negaranya.
0 comments:
Post a Comment