GRAMSCIAN WS RENDRA TOWARDSHEGEMONY OF THE ORDE BARU: ELEVATING THE LITERATURE OF INDONESIA TOWARDS LITERARYWORLD
UmiSalamah
IKIP Budi Utomo Malang, Jl.
Simpang Arjuno 14B Malang
Abstract: Literatureaspartof thecultureis a reflection ofthe
civilizationof a nation.Indonesian literature is a form of thinking about the public disclosure of
new Indonesian. Along with the
growing opportunities that Indonesian language will become the international
language; the development of
Indonesian literature to become citizens of the world literature is a necessity
to be done. Literary works qualified need to be publicized through a variety of
events, including readings, performances, discussions learning, and the
publication. Resistance of WS
Rendra to the socio-economic depravity, which is the spirit of nationalism, was glorifiedby Rendra in his poems to make thebetter changes. As one of
the organic intellectual in Gramsci's view, Rendra not fight alone. He's looking for group support in a way other
intellectual read and performing his work,
documenting, socializeing, and discuss it in at arts
institutions and universities both in Indonesia and
abroad. WS Renda as
organic intellectuals repressed society who want to provide a lesson for the
public to be aware of the situation of the oppressed, to further voice their
opposition to the powers that tend to be tyrant. Discussion of the research
results on the works of WS Rendra in Gramsci's perspective is one way to raise the
existence of Indonesian literature as citizens of the literarary world.
Key Word:
Resarch of Indonesian literatur,Gramscian WS Rendra, towards literaryworld
GRAMSCIAN WS RENDRA
MELAWAN HEGEMONI ORDE BARU: MENGANGKAT SASTRA INDONESIA
MENJADI WARGA SASTRA DUNIA
Umi Salamah
IKIP Budi Utomo Malang, Jl.
Simpang Arjuno 14B Malang
Abstrak: Sastra sebagai bagian
dari kebudayaan merupakan cermin peradaban suatu bangsa. Sastra
Indonesia merupakan salah satu bentuk pengungkapan pemikiran tentang masyarakat
baru Indonesia. Seiring dengan makin besarnya peluang bahasa Indonesia menjadi
bahasa internasional, pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia untuk menjadi
warga sastra dunia merupakan keniscayaan untuk dilakukan. Karya-karya sastra yang berkualitas
perlu dipublikasikan melalui berbagai even dan pers. Perlawanan WS Rendra
terhadap kebobrokan sosial-ekonomi akibat hegemoni Orde Baru, diteriakkan melalui sajak-sajaknyan agar
terjadi perubahan yang lebih baik. Sebagai
salah satu intelektual organik dalam pandangan Gramsci, Rendra tidak berjuang
sendirian. Dia mencari dukungan kelompok intelektual lainnya dengan cara
membacakan, mementaskan, mendokumentasikan,
dan mendiskusikannya di lembaga-lembaga kesenian dan perguruan-perguruan
tinggi di Indonesia dan di luar negeri. WS
Rendra sebagai intelektual organik dari masyarakat yang terepresi ingin
memberikan suatu pembelajaran bagi masyarakat luas agar sadar akan keadaannya
yang tertindas, untuk selanjutnya menyuarakan perlawanan pada kekuasaan yang
cenderung tiran. Pembahasan hasil riset dan publikasi dalam jurnal
internasional terhadap karya-karya WS
Rendra dalam perpektif Gramsci ini merupakan salah satu upaya mengangkat
eksistensi sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia.
Kata kunci: Penelitian sastra
Indonesia, Gramscian WS Rendra, menuju warga sastra dunia
PENDAHULUAN
Banyak cara yang dapat dilakukan
untuk mengangkat eksisitensi karya sastra di kancah global sebagai warga sastra
dunia. WS Rendra merupakan salah satu sosok penyair yang berani berbeda pada zamanya
dan berani menerobos eksisitensi sastra dunia. Dia menempatkan diri sebagai
intelektual organik yang memperjuangkan bangsa dan negara pada zamannya dari
tirani hegemoni dan dominasi Orde Baru. Dengan kepiawaiannya mengolah kata dan
keberaniannya memperjuangkan nilai-nilai kemanusian dan sosial pada zamannya,
dia mengangkat karya-karyanya menjadi sastra warga dunia. Dalam artikel ini
dibahas tentang (1) perlawanan WS Rendra terhadap hegemoni orde
baru, (2) Gramscian WS
Rendra layak menjadi objek riset masalah sosial politik pada
zamannya, dan (3) mengangkat sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia.
CARAMENGANGKAT SASTRA INDONESIA
MENJADI WARGA SASTRA DUNIA
Sastra Indonesia merupakan salah
satu bentuk pengungkapan pemikiran tentang masyarakat baru Indonesia(Rumusan
Seminar Politik Bahasa tahun 1999, Michele. 1991).Dalam
perkembangan selanjutnya, sastra Indonesia menjadi media ekspresi berbagai
gagasan modern, pencerminan jati diri yang diilhami baik oleh sumber-sumber
kebudayaan tradisi maupun oleh kebudayaan modern. Itulah sebabmya sejak
lahirnya sastra Indonesia pada tahun 1920-an sampai saat ini, sastra Indonesia
diharapkan memiliki jati diri sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia dan adaptable serta memiliki daya saing
terhadap perkembangan sastra dunia.
Dalam kedudukannya sebagai wahana
ekspresi budaya, sastra Indonesia mempunyai fungsi untuk (1) menumbuhkan rasa
kenasionalan, (2) menumbuhkan solidaritas kemanusiaan, dan (3) merekam
perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia pada zamannya. Untuk memenuhui
fungsinya itu, diperlukan upaya pembinaan sastra Indonesia yang meliputi
pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan, serta pengembangan sastra yang meliputi
penelitian dan pemeliharaan(Rumusan Seminar Politik Bahasa tahun 1999). Akan
tetapi upaya pembinaan sastra Indonesia sampai saat ini belum mendapat sambutan
yang baik dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia, sehingga perkembangan
sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia masih tertatih-tatih. Penghargaan
masyarakat terhadap sastra Indonesia masih dalam kategori sangat rendah, bahkan
di institusi pendidikan pun belum menampakkan antusias untuk menghargai produk
budaya ini. Fenomena semacam ini sangat tidak kondusif untuk perkembangan
sastra Indonesia, apalagi mengangkat menjadi warga sastra dunia.
Seiring dengan makin besarnya
peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, pembinaan dan
pengembangan sastra Indonesia untuk menjadi warga sastra dunia merupakan
keniscayaan untuk dilakukan. Karya-karya sastra yang berkualitas perlu dipublikasikan melalui
berbagai even dan pers, di antaranya pembacaan, pementasan, penelitian,
perbincangan, penggunaan sebagai media pembelajaran belajar bahasa, dan
publikasi hasil riset terhadap karyanya. Peningkatan publikasi karya sastra
maupun hasil riset tentang sastra Indonesia dalam berbagai media dan momen itu
akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan penghargaan terhadap karya
sastra Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan demikian upaya
mengangkat sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia menjadi lebih mudah.
DiterbitkannyaModern Library of
Indonesia yang berisi seri terkini hasil karya sastra Indonesia modern
diharapkan menjadi salah satu usaha untuk meningkatkan peranan sastra Indonesia
di panggung dunia. Penerbitan seri buku Modern Library of Indonesiayang
dilatari oleh cita-cita besar bahwa sastra adalah bagian kebudayaan yang
penting, maka buku yang disunting John McGlynn itu, diharapkan dapat menjadi
jembatan ke pembaca asing. Dengan demikian, pembaca asing tidak hanya dapat
mengikuti perkembangan sastra Indonesia dari zaman ke zaman, melainkan juga
pengamat luar akan dapat lebih menghayati kekuatan politik dan sosial yang ikut
mengejawantahkan negara Indonesia.
. WS
Rendra merupakan salah satu sastrawan yang berhasil mengangkat karyanya menjadi
warga sastra dunia. Kegigihan
WS Rendra dalam menggambarkan peradaban pada zamannya memiliki keunikan yang
berbeda dari pengarang lainnya. Inilah salah satu daya pukau pembaca dan
penikmat terhadap karya-karya WS Rendra. Upaya publikasi yang dilakukan WS
Rendra terhadap
karya-karyanya juga memiliki dampak yang sangat besar terhadap eksistensi
sastra Indonesia. Nama besar WS Rendra tidak dibangun secara instan, tetapi
diperlukan kemauan keras, rasa percaya diri, keunikan, dan publikasi yang keras
termasuk beraliansi dengan pers dan berkonektivitas dengan berbagai lembaga
pendidikan dan birokrasi yang mendukung proses kreatifnya.
PERLAWANAN WS RENDRA TERHADAP HEGEMONI ORDE BARU MENCERMINKAN
PERADABAN INDONESIA PADA MASA ITU
Sastra sebagai bagian dari kebudayaan
merupakan cermin peradaban suatu bangsa. WS Rendra menjadi pembeda dari penyair
lainnya pada zamannya, karena melalui kepiawaiannya dalam mengolah kata,
ketajamannya dalam melihat, mendengar, dan merasakan situasi dan kondisi sosial
politik masyarakat pada masa itu membuat karyanya menjadi karya fenomenal yang
mudah dicerna dan menimbulkan empati pada para intelektual organik dan kelompok
masyarakat yang tersakiti, sehingga mampu menjadi alat perlawanan yang efektif.
Dalam kutipan puisinya ‘Sajak Sebatang Lisong’ dapat dilihat bagaimana dia
geram terhadap kerja kesenian saat itu, yang tidak memberikan banyak perhatian
pada situasi sosial yang ada:
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang berpuisi tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian (1993:34)
Menurutnya, kerja seni yang tidak mempunyai relevansi dengan kehidupan
sosial menjadi ‘karpet merah’ bagi Orba untuk terus melenggang dalam kekuasaan,
dan bahkan cenderung menjadi otoriter. Kesenian menjadi apolitis, sehingga
ruang yang tersedia pada setiap kerja kreatif untuk melakukan kontrol sosial
tidak dijalankan. Ini sesuai dengan apa yang diharapkan oleh rezim Orba.
Kapendam V Jaya saat itu, Anas Malik berpendapat bahwa sebaiknya seni jangan
dihadapkan sebagai oposisi melawan pemerintah (Haryono, 2005:269). Menjadi
jelas bahwa bentuk seni sastra yang berkembang ketika itu juga tidak luput dari
kerja hegemoni penguasa Orde Baru. Lebih lanjut Rendra menulis:
inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan (1993:37)
Posisi Rendra dalam situasi sosial
ketika Orba tengah mencengkramkan dominasi dan hegemoninya adalah sebagai
intelektual organik yang menyediakan diri untuk terjadinya kemungkinan counter hegemony atau sikap perlawanan.
Intelektual organik seperti Rendra yang terur-menerus melakukan perlawanan
tersebut pada akhirnya akan menentukan apakah situasi status quo yang
menguntungkan penguasa terus berlangsung, atau berganti dengan penguasa baru.
Periode 1970-an sampai dengan
reformasi, karya Rendra mengalami perubahan, dari karya-karya sebelumnya, yaitu
dari karyayang penuh dengan estetika dan magis ke karya yang banyak menyoroti
masalah sosial di Indonesia. Estetika melalui misteri, ambiguitas, mistis, dan
kemesraan, yang menjadi kekuatan pada puisi-puisi terdahulunya, mulai
ditanggalkan. Dimulai dari Potret Puisi
dalam Pembangunan (PPDP), Rendra
tidak lagi menjadikan estetika sebagai motif utama dalam kepenyairannya. Hal
tersebut dilakukan karena, Rendra tidak mau terasing dari dunia politik yang
ada pada zamannya (Gendut Riyanto dalam Haryono, 2005:276).
Rendra telah menjadikan puisi
dan aktivitas seni lainnya sebagai sarana perlawanan terhadap penguasa yang
dianggapnya lalim dan tiran, yakni Orde Baru. Karya-karyanya cenderung menjadi
karya kreatif yang mengedepankan aspek sosial-politis daripada estetis
(Sarjono, 2001). Disebut sosial-politis, sebab yang menjadi tujuan akhir dari
karya kreatifnya bukan lagi perkara estetika saja, melainkan tujuan praktis
berupa cita-cita perubahan sosial yang signifikan. Terlebih lagi, karya kreatif
tersebut secara sadar difungsikan sebagai alat untuk mendelegitimasi kekuasaan
penguasa di mata rakyatnya. Aktivitas melakukan riset dan pendataan fakta
inilah yang semakin menguatkan posisi sosial-politis puisi-puisi pamplet,
sebagaimana dalam kutipan di bawah ini:
“Sadarlah saya, bahwa saya akan kehilangan nuansa misteri. Ya saya
harus mengikhlaskan diri untuk tidak memakai pesona misteri dan “ambiguity”
yang menjadi kekuatan puisi sebelumnya .... Inilah yang ingin dan maksudkan di
dalam menulis puisi sosial-ekonomi-politik, yaitu relevansi sosial,” (Rendra
dalam Haryono, 2005:277).
Rendra
banyak berbicara tentang masalah sosial ekonomi berdasarkan hasil riset dan
pendataan fakta yang ada di tengah masyarakat saat itu. Perlawanan terhadap
kebobrokan sosial-ekonomi pada masa itu diteriakkan melalui sajak-sajaknyan,
drama, dan filmnya agar terjadi perubahan yang lebih baik. Sebagai salah satu intelektual organik dalam pandangan Gramsci,
Rendra tidak berjuang sendirian. Dia mencari dukungan kelompok intelektual organik
lainnya dengan cara membacakan, mementaskan, mendokumentasikan,
mempublikasikan. dan mendiskusikannya dalam sarasehan yang diselenggarakan di
lembaga-lembaga kesenian dan perguruan-perguruan tinggi besar di Indonesia dan
di luar negeri.
Dengan meminjam konsep Gramsci tentang
kontra hegemoni (Ritzer, 1992), dapat dikatakan bahwa WS Rendra sebagai intelektual organik masyarakat
yang terepresi ingin memberikan suatu pembelajaran bagi masyarakat luas agar
sadar akan keadaannya yang tertindas, untuk selanjutnya menyuarakan perlawanan
pada kekuasaan yang cenderung tiran.
Perjuangan
WS Rendra tidak sia-sia. Publikasi yang dilakukan di berbagai even dan media
dalam dan luar negeri telah menginspirasi dan memompa semangat intelektual
organik lainnya untuk melakukan reformasi. Tahun 1998 merupakan puncak dari
kekesalan para intelektual organik Indonesia untuk keluar dari cengkeraman
hegemoni dan dominasi Orde Baru yang makin tiran dan keinginan yang kuat untuk melakukan
perubahan. Dalam konteks ini, keterkaitan antara dominasi, hegemoni, dan peran
intelektual organik dalam melawan hegemoni kekuasaan Orde Baru sangat menonjol
dalam karya-karya WS Rendra era 70-an sampai reformasi.
GRAMSCIAN WS RENDRA LAYAK MENJADI
OBJEK RISET MASALAH SOSIAL POLITIK ZAMANNYA
WS
Rendra menjadi fenomena yang menarik karena ketika Orde Baru tengah berada pada
masa kejayaannya, puisi-puisi pamfletnya, karya-karya drama, dan filmnya
dibacakan, dipentaskan, dan diputar di kota-kota besar, di dalam dan di luar
negeri. Acara pembacaan puisi, sarasehan kebudayaan, pementasan drama, dan
pemutaran filmnya selalu dibanjiri oleh penonton, bahkan hujan dan terundurnya
waktu dua jam pun tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menunggu sang
penyair membacakan puisi-puisinya, menyampaikan orasinya, maupun mementaskan
dramanya. Pada umumnya para penonton mengagumi W.S. Rendra karena beberapa hal
(1) keberaniannya, (2) kehebatan dalam berkomunikasi dan daya tarik
kharismatiknya, (3) puisi-puisinya mudah dipahami dan membawakan keadaan
zamannya (Kompas, Rabu, 1 Mei 1978).
Rendra memberikan pemaknaan
alternatif terhadap realitas yang ada di masyarakat, yang selalu menjadi monopoli
penguasa. Pemaknaan tersebut berupa pandangan-pandangan bagaimana seharusnya
apek pendidikan, hukum, ekonomi, dan politik dijalankan. Hal ini mengantarkan WS
Rendra berhadapan dengan rezim Orba sebagai penguasa tiran negara pada zamannya.
Sebagaimana
halnya catatan sejarah di tempat-tempat lain, kekuasaan yang terlalu mutlak
pada akhirnya akan berubah menjadi struktur yang menindas(Davidson, 1968).
Slogan pencitraan pembangunan dan stabilitas nasional yang digunakan sebagai
alat kekuasaan hegemoni Orde Baru membuat nilai-nilai kemanusaiaan di Indonesia
pada masa itu mati suri.Pembunuhan, penculikan, penahanan terhadap tokoh-tokoh
politik dan mahasiswa-mahasiswa yang kritis dilakukan atas nama stabilitas nasional
dan pembangunan. Atas nama itu pula, segala tindakan yang melanggar nilai-nilai
kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah dianggap wajar.
Orba
menjadi sistem pemerintahan yang tidak memungkinkan munculnya pilihan kedua
atau alternatif. Atas nama stabilitas, segalanya dikomando dari atas ke bawah.
Pembangkangan berarti melawan negara yang memiliki konsekuensi hukum. Hal ini
terjadi di setiap lini kehidupan (Aritonang, 1999). Garis komando pemerintah Orba
yang tegas dan berkonsekuensi hukum itu tidak hanya terdapat pada wilayah
ekonomi dan politik saja, tapi juga merambah wilayah-wilayah lain. Dunia pendidikan
dan kebudayaan pun tidak luput dari cengkraman pemerintah Orba. Melalui
aparatusnya,Orba mengontrol setiap aktivitas kebudayaan masyarakat dan produk
budaya yang dihasilkan. Dengan hegemoni dan dominasi semacam itu, ketika
Indonesia terjadi praktik korupsi besar-besaran, peculikan, pembunuhan,
penggusuran, pengambilalihan lahan
pertanian, penggundulan hutan, sebagian besar intelektual, terutama intelektual
tradisionaljustru hanya diam saja, Gramsci menyebutnya Go to silent. Kondisi semacam ini menurut WS Rendra harus dilawan.
Pada zamannya, Rendra
terpilih sebagai seorang intelektual organik yang berperan memberikan
pencerahan terhadap masyarakatnya. Sebagai intelektual organik, WS Rendra
mengakui hubungan dengan kelas sosial tertentu, yakni masyarakat yang
tertindas, mendorongnya untuk memberikan kesadaran akan fungsinya, khususnya
pada bidang sosial-politik, dan bergabung dalam kelompok-kelompok revolusiner
untuk men-support dan meng-counter hegemony pada sebuah
transformasi sosial yang direncanakan, walaupun memiliki resiko yang sangat
besar dan membahayakan (Barrett, 1991:3-7; Patria, 2003:161).
Eksistensi
WS Rendra sebagai seorang intelektual organik dapat dilihat dari berbagai macam
konsep pembangunan dan masyarakat yang tertera dalam karya-karyanya. WS Rendra
mampu menghubungkan teori
dan realitas sosial yang ada, dan bergabung dalam kelompok-kelompok
revolusioner untuk melakukan counter
hegemony terhadap kekuasaan yang mapan. Hal ini dapat dilihat ketika WS Rendra
sering terlihat pada aksi-aksi mahasiswa yang berdemonstrasi menggugat penguasa.
Gramscian WS Rendra memiliki perbedaan strategi dari penggagasnya
yakni Antonio Gramsci. Apabila Gramsci sebagai intelektual organik berjuang
tanpa didukung oleh banyak intelektual organik sehingga ketika ia dijebloskan
ke dalam penjara sampai akhir hayatnya, ia hanya bisa melawan hegemoni kekuasaan
pada masanya melalui tulisan-tulisan yang dibuat di balik tirali besi, tanpa
mampu mempublikasikannya.
Sebaliknya perlawanan WS Rendra terhadap
hegemoni Orde Baru mendapat dukungan dari banyak intelektual organik lainnya.
Dukungan para intelektual organik kepada WS Rendra dalam melawan hegemoni Orde
Baru diperoleh melalui berbagai cara. Dengan mengusung misi memberikan
pencerahan pada masyarakat tentang keadaan mereka yang sebenarnya dan dalam
rangka mencari dukungan intelektual organik lainnya, karya-karya Rendra
dipublikasikan di berbagai tempat, seperti di ITB, UI, Universitas Atmajaya,
Universitas Taruma Negara, Universitas Trisakti, Universitas Gajah Mada, Taman
Ismail Marzuki, dan beberapa kampus serta instansi dalam maupun luar negeri.
Selain membacakan puisi-puisinya, Rendra juga diundang sebagai penceramah
“kebudayaan” di berbagai perguruan tinggi. Bahkan, setiap momen pembacaan yang
diikuti dengan sarasehan dan ceramah turut didokumentasikan menjadi buku oleh
berbagai media.Itulah sebabnya perlawananWS Rendra dalam melawan Orde Baru
dapat diwujudkan. Puncak dari gerakan perlawanan terhadap hegemoni Orde Baru
terjadi 1998, yaitu terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde
Reformasi.
Pembahasan hasil riset terhadap karya-karya WS Rendra dalam perpektif
Gramsci dalam forum seminar internasional dan publikasinya merupakan salah satu
upaya mengangkat eksistensi sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia.
Semakin banyak penelitian dan publikasi hasil riset terhadap sastra Indonesia
di seminar ilmiah internasional, akan membawa dampak keingintahuan seluruh
pembaca dan peserta seminar untuk membaca dan mempelajari karya-karya yang
diteliti dan dipublikasikan.
PENUTUP
Ibarat banyak jalan menuju roma, selalu ada
banyak cara untuk mengangkat sastra Indonesia menjadi sastra dunia. Peningkatan
kesadaran dan cita-cita besar bahwa sastra adalah bagian
kebudayaan yang penting bagi suatu bangsa, penyelenggaraan berbagai lomba
menulis dan publikasi karya sastra sampai tingkat internasional, penghargaan
terhadap karya sastra yang berkualitas,publikasi dalam berbagai even terhadap
karya sastra yang berkualitas termasuk mengangkat sastra ke industri kreatif. Yang
tidak kalah pentingnya, sastrawan harus pandai beraliansi dengan Pers.
Selain
itu, publikasi terhadap hasil riset karyasastra Indonesia dalam berbagai
seminar, dan jurnal internasional, merupakan cara efektif untuk mengangkat sastra Indonesia menjadi
warga sastra dunia. Tentu saja hal ini perlu dukungan dari berbagai pihak, baik
dari kalangan birokrasi (khususnya pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan
industri kreatif), pelaku usaha, dan generasi muda masyarakat Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Aritonang, Diro. 1999. Runtuhnya Rezim Daripada Soeharto: Rekaman
Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998. Bandung: Pustaka Hidayah.
Barrett,
Michele. 1991. The Politics of Truth:
From Marx to Foucault. Chapter 4: ‘Ideology, Politics, Hegemony: From Gramsci
to Laclau and Mouffe’, hal. 51-80.
Bourdieu,
Pierre. 1991, Language and Symbolic Power.
Cambridge: Polity Press.
Creswell, John W. 2010. Research Desain Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed the Thirth Edition. Diterjemahkan oleh Achmad Fawaid. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
ok, G. 1994. Discourse and Literature: Interplay of Form and Mind. New York:
Oxford University Press.
Davidson,
Alastair. 1968. Antonio Gramsci, The Man,
His Ideas. Sydney: Australian Left Review Publications.
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonnas S. 1977.
Handbook of Qualitative Research.
Diterjemahkan oleh Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi tahun 2009.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
____. 1995. Perlawanan Tak
kunjung Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gadamer,
Hans-Georg. 2010. Kebenaran dan Metode.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gramsci, Antonio. 1976. Selection from the Notebook. Hoare dan Nowell Smith (ed). New York:
International Publishers.
______________. 2013. Prison Notebooks: Catatan-catatan Dari
Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haryono,
Edi. 2005. Membaca Kepenyairan Rendra.
Yogyakarta: Kepel Press.
Kompas, 28 April 1970. WS Rendra
Ditangkap dan Di-skogar-kan Semalam.
Kompas, 28 April 1978. Rendra Telah
Menjadi rabindranath Ragore, hal. 5
Kompas, 2 Oktober 1978 WS Rendra
Dibebaskan.
Pikiran Rakyat, Minggu 23 Maret 1986. Zaman
Cacat, Rendra dan Ranggawarsita.
Gatra, 18 November 1996 hal 24—25. WS Rendra
Beraliansi dengan Pers.
Kompas, 6 Januari 1997. WS Rendra: Pemimpin Perlu Hayati Hati Nurani.
Paji
Masyarakat No. 527. WS Rendra: Perlu Ditegakkan Kedaulatan Manusia.
Kompas, 18 Mei 1998. WS Rendra:
Kesenjangan Sosial, Ekonomi, dan Politik.
Kompas,24-30 Juni 1999: Politisi
Kita Nggak Ngerti Sejarah.
Kompas, 19 Mei 2000. Rakyat Indonesia Belum Merdeka.
Warta Kota, Senin 2, Oktober 2002. Orasi
Budaya Rendra: Elie Indonesia Masih Primitif.
Patria, Nezar dan Andi Arief.
2003. Antonio Gramsci: Negara &
Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer,
George. 1992. Sociological Theory.
Singapore: McGraw-Hill.
Sassoon, Anne Showstack (1987). Gramsci’s Politics. Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Sarjono,
Agus R. 2001. Sastra Dalam Empat Orba.
Yogyakarta: Bentang
Van Dijk, Teun A. 1993. Discourse
and Cognition in Society, dalam Communication
Today, diedit oleh Mitchell dan Crowley. Oxford: Pergamon Press.
_______________.
1997,Discourse as Structure and Process.
London: Sage.
Wareing, Shan dan Linda
Thomas.2007.Bahasa, Masyarakat, dan
Kekuasaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.