Tuesday, April 14, 2015

Posted by Unknown | File under :










 SEMBAKO MAHAL:

Kemandirian Pangan dan Penghambatnya Harus Ditangani secara Serius


Umi Salamah
Akademisi dan Pengamat Sosial-Politik


Sembako mahal menjadi trending topik di berbagai media yang cukup bertahan lama saat ini. Jika ini dibiarkan, kewibawaan pemerintah akan berada di ujung tanduk, sebab sembako merupakan penyangga kehidupan yang sangat vital/mendasar bagi keberlangsugan hidup rakyat. Ada banyak faktor yang bermain menentukan harga sembako mahal, antara lain, (1) belum tercapainya kemandirian pangan nasional dan (2) peran aktifnya para mafia dan koruptor yang mengganggu distribusi sembako kepada masyarakat. Sebagaimana bandar narkoba, para koruptor dan mafia adalah musuh negara yang sangat berbahaya, laten, dan harus dihukum yang seberat-beratnya dan seadil-adilnya.  Oleh karena itu, tidak hanya pelaku pembangunan kemandirian pangan nasional yang harus terus dipacu tetapi juga para musuh negara itu harus ditindak tegas.

Libatkan Semua Potensi untuk Membangun Kemandirian Pangan
Mati enggan hidup pun segan, ungkapan ini melukiskan jeritan para petani ketika hasil penjualan panen tidak sesuai dengan harapan. Juga melukiskan jeritan rakyat kecil ketika harga sembako melambug tinggi. Bagaimana tidak, pada saat masa panen tiba, pemerintah mengizinkan para mafia melakukan impor, sehingga harga hasil pertanian menjadi ‘anjlok’ dan distribusi hasil pertanian tidak lancar.   Apalah artinya panen melimpah apabila harganya ‘anjlok” dan pemerintah tidak mau tahu tentang persoalan yang dihadapi para petani? Tentu saja kondisi seperti ini tidak memotivasi petani untuk meneruskan usaha pertaniannya.
Dampak dari kondisi ini sebagian besar petani menjual tanahnya dan beralih profesi sebagai buruh atau merantau di negeri orang. Akibatnya, hasil pertanian di Indonesia makin lama makin merosot, sehingga tidak mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Untuk mengatasi hal tersebut lagi-lagi pemerintah menggunakan cara instan dengan memberikan izin impor. Dampak dari kebijakan tersebut, harga pangan menjadi melambung, sehingga rakyat kecil tidak mampu membeli sembako yang berkualitas.
Apabila hal ini tidak segera diantisipasi dengan kebijakan dan sistem pertanian yang berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka bangsa Indonesia akan mengalami krisis pangan berkepajangan. Padahal sebenarnya Indonesia memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat banyak di bidang pertanian. Indonesia memiliki lahan pertanian yang sangat luas, dan jutaan sarjana pertanian dengan potensi, pengetahuan, pengalaman, dan hasil riset yang sangat banyak tetapi belum diberdayakan dan dikelola dengan baik. Selain itu potensi masyarakat lainnya, seperti kelompok pemuda, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat merupakan investasi yang sangat baik bagi tercapainya pembangunan kemandirian pangan nasional dan keberlanjutannya. Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi rakyatnya?

Perlunya menegakkan Sistem Tatakelola Pertanian yang Serius
Menjadi tuan di negera sendiri dan menjadi rakyat yang bangga pada negara, ungkapan ini akan terus bergaung sangat indah apabila pemerintah berhasil membangun kemandirian pangan nasional di negeri ini. Tentu saja ini bukan pekerjaan mudah, akan tetapi apabila pemerintah membuat kebijakan dan sistem tatakelola yang terkontrol dan  memihak petani dengan melibatkan seluruh potensi bangsa akan terasa lebih ringan dan lebih mudah.
Melihat kondisi di negara saat ini, sebagian besar tanah, air, dan kekayaan alam lainnya sudah dikuasai asing, sementara potensi rakyat juga kurang dikelola secara maksimal.  Hal ini menyebabkan krisis pangan di negara ini makin memprihatinkan. Krisis inilah yang menyebabkan harga pangan menjadi mahal.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk perubahan menuju kemandirian dan ketahanan pangan, di antaranya (1) melakukan judicial review terhadap undang-undang terutama tentang penanaman modal asing, (2) peraturan yang tidak sesuai dengan UUPA Nomor  5 Tahun 1960 dan UUD 1945 khususnya pasal 33 ayat 3 harus diganti, (3) jadikanlah payung tersebut sebagai pedoman dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan penguasaan tanah, air, udara dan kekayaan alam di Indonesia, (4) penguatan kelembagaan, baik di tingkat pusat maupun daerah harus mengutamakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, (5) hentikan semua aktivitas penanaman modal asing yang merugikan rakyat, (6) optimalisasi hasil riset di bidang pertanian, dan (7)  berantas mafia dan koruptor di bidang pertanian.

Berdasarkan ke tujuh poin di atas, maka dengan melakukan judicial review dan menjadikan UUPA Nomor  5 Tahun 1960 dan UUD 1945 sebagai pedoman/ payung dalam pembuatan peraturan penguasaan tanah, air, dan udara, serta kekayaan Indonesia akan memberikan kepastian hukum perlindungan terhadap hak kepemilikan lahan oleh rakyat (khususnya petani) menjadi lebih besar sehingga Negara memiliki kontrol yang lebih kuat. Dengan penguatan fungsi kelembagaan dari pusat hingga ke bawah dapat menjamin kelancaran distribusi dan pengawasan terhadap bantuan pemerintah baik, berupa pembimbitan, penanaman, pemupukan, proses pemanenan, sampai pendistribusian hasil panen lancar, sehingga tidak memungkinkan para mafia untuk mempermainkan harga. Dengan demikian harga menjadi lebih stabil dan tidak fluktuatif. Perlunya pemanfaatan hasil riset di bidang pertanian, baik dari perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat, akan menjamin peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian, maka hasil panen dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Tidak kalah pentingnya, upaya serius untuk memberantas koruptor dan mafia pertanian melalui penegakan hukum serta fungsi kontrol yang ketat dan melekat, maka menutup celah dan pemanfaatan kesempatan yang bisa mengganggu distribusi dan ketersediaan pangan. Pada akhirnya tidak akan terjadi harga sembako mahal.  

Sunday, January 18, 2015

Posted by Unknown | File under :
TANTANGAN PENDIDIKAN MENGHADAPI MEA 2015:
Meningkatkan Kemampuan Berinovasi, Teknologi, dan Networking Merupakan Keniscayaan

Oleh Umi Salamah
Dosen, pengamat, dan peneliti pendidikan

Gelegar pasar tunggal Asean 2015 (MEA) telah menggema, meskipun belum diterima sepenuhnya oleh seluruh masyarakat. Mengapa demikian, karena kehadiran pasar ini tampil dengan perspektif ekonomi saja, sehingga masyarakat yang berada di luar ranah ekonomi, bisa tidak tahu atau tidak mau tahu. MEA (Masyarakat ekonomi ASEAN) yang akan di-launching pada 31 Desember 2015, memungkinkan mudahnya mobilitas barang, jasa, dan orang antarnegara di wilayah ASEAN. Tentu saja ini merupakan angin segar bagi yang siap bersaing, namun menjadi badai yang melumpuhkan bagi yang tidak siap. Kita akan melihat betapa mudahnya barang, jasa, dan orang di wilayah ASEAN memasuki negara kita demikian juga sebaliknya apabila kita memiliki daya saing. Berbagai kemungkinan bisa terjadi seperti: supir angkot orang Kamboja, buruh pabrik dan pekerja bangunan orang Laos dan Vietnam, pedagang di pasar orang Thailand dan Malaysia.
Jutaan orang akan bersaing dengan tenaga kerja asing pasca mereka lulus dari satuan pendidikan tertentu. Suatu fakta yang tidak bisa dihindari karena perjanjian tersebut telah disepakati oleh anggota-anggota ASEAN. Tema implementasi pasar tunggal Asean 2015 adalah sektor barang dan jasa. Tujuh sektor barang yang dimaksud yaitu produk berbasis pertanian, otomotif, elektronik, karet, tekstil, perikanan, dan barang dari kayu, sedangkan lima sektor jasanya adalah layanan transportasi udara, layanan dalam jaringan, pariwisata, kesehatan, dan logistik.
Meskipun saat ini hanya terbatas beberapa sektor, perjanjian ini menimbulkan tanda tanya bagi insan pendidikan tentang sejauh mana kemampuan anak didik kita bersaing secara global. Semakin dekatnya MEA dan masih banyaknya masyarakat yang belum memahami hal ini, besar kemungkinan menjadi masalah besar bagi bangsa kita, sebab akan muncul kegagapan massal terutama bagi angkatan kerja yang tidak terdidik dan tidak  terlatih.
Data BPS 2014 menunjukkan bahwa penduduk di atas 15 tahun yang bekerja berdasarkan pendidikan secara berurutan adalah: SD 46,8%, SLTP 17,82%, SLTA 25,23% dan pendidikan tinggi 10,14%. Dengan komposisi mayoritas lulusan pendidikan dasar, mampukah pendidikan kita menyiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing di pasar bebas ASEAN? Idealnya sebelum perjanjian ini dimulai pemerintah dan pendidikan kita terlebih dahulu menyiapkan startegi penyiapan sumber daya manusia dan infra struktur pendukung yang optimal.
Jangankan menyiapkan sumber daya manusia yang handal dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, dunia pendidikan kita, kini masih disibukkan oleh bongkar pasang kurikulum. Ironisnya, bongkar pasang kurikulum kita masih memiliki paradigma yang sama, yaitu menjadikan mata pelajaran dan matakuliah masih sebagai tujuan belum sebagai alat kecakapan hidup.  Keberhasilan siswa dan mahasiswa masih diukur dari tingkat penguasaan materi saja belum pada bagaimana menggunakan materi itu sebagai kecakapan untuk memperoleh kesuksesan hidup. Hal itu menyebabkan lulusan pendidikan kita gagap dan kurang mampu bersaing dalam mengahadapi dunia kerja.
Bagaimana pendidikan kita merespon MEA yang sudah ada di pelupuk mata? Akankah kita korbankan generasi sekarang bersaing tanpa persiapan?. Era perdagangan bebas ASEAN harus disambut oleh dunia pendidikan dengan cepat, agar sumber daya manusia Indonesia siap menghadapinya tanpa banyak menimbulkan masalah.
Mengacu pada faktor penentu kemajuan suatu negara adalah penguasaan inovasi (45%), penguasaan jaringan/networking (25%), penguasaan teknologi (20%), dan kekayaan sumberdaya alam hanya (10%), maka pendidikan kita harus lebih menekankan pada tiga kemampuan di atas. Paling tidak kita bisa belajar dari negara tetangga, Singapura. Singapura tidak memiliki sumberdaya alam tetapi masuk dalam kategori negara maju, karena negara tersebut menguasai tiga hal di atas.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan pendidikan kita  dalam menghadapi MEA 2015 yang sudah di gerbang pasar bebas?  Pemerintah harus menyiapkan sekolah-sekolah khusus yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan kerja, misalnya sekolah pertanian, sekolah peternakan, sekolah perikanan, sekolah teknik mesin, sekolah teknik bangunan, dan sebagainya. Sekolah-sekolah tersebut harus benar-benar membekali kompetensi untuk berinovasi dan untuk membangun jaringan/networking. Kompetensi berinovasi dapat dilakukan dengan peningkatan berbagai ketrampilan seperti, inovasi pembudidayaan, desain produk, strategi pemasaran, penggunaan teknologi dan penguasaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Adapun kompetensi membangun jaringan dilakukan dengan pengembangan sikap dan mengelola sumber daya manusia seperti, kepemimpinan, kerja sama, komunikasi dan pengembangan pribadi.
Dalam jangka waktu yang singkat, kemampuan berinovasi dan penguasaan teknologi merupakan keniscayaan untuk segera dilakukan karena mayoritas output pendidikan dasar dan menengah  akan bekerja di sektor bawah atau tenaga kasar. Ketrampilan ini bisa diupayakan dengan cepat karena siswa akan diajarkan bagaimana cara bekerja yang kreatif dan inovatif. Adapun pengembangan kemampuan membangun jaringan diprioritaskan bagi tenaga kerja level  manajemen yang umumnya diemban oleh lulusan perguruan tinggi. Akan tetapi, jika ketrampilan ini dimiliki oleh semua level pendidikan maka dapat meningkatkan kualitas kerja lulusan pendidikan sehingga daya saing tenaga kerja kita  meningkat.

Menyiapkan sumber daya manusia memang bukan pekerjaan mudah dan bisa dilakukan secara instant. Akan tetapi, apabila pendidikan kita (guru dan sekolah) bisa membekali siswa dengan kedua ketrampilan tersebut, lulusan pendidikan kita akan memiliki rasa percaya diri dan motivasi untuk mengembangkan diri secara optimal sehingga mampu bersaing secara global. Mampukah perangkat pendidikan kita melakukannya? Jika tidak, pemerintah harus memberikan regulasi-regulasi yang mempermudah masyarakat untuk membuka lembaga-lembaga pelatihan yang membekali keterampilan untuk berinovasi, penguasaan teknologi, dan kemampuan membangun jaringan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Dengan demikian, pendidikan kita memiliki andil besar dalam menyiapkan sumberdaya yang siap menghadapi MEA 2015 maupun persaingan global.
Posted by Unknown | File under :
Membangun Kemandirian dan Kedaulatan Pangan:
Belajar dari Thailand

Oleh Umi Salamah
Dosen dan pengamat sosial politik

... Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun
yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkahinya.
Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian (Kahlil Gibran)

Dalam rangka memperingati “Hari Ibu” kutipan puisi di atas, mengasosiasikan bahwa Ibu pertiwi kita yang gemah ripah loh jinawi (subur makmur) ini belum bisa memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Apa yang salah dengan pengelolaan Ibu pertiwi kita? Satu hal yang masih dapat kita andalkan untuk memakmurkan dan menyesejahterakan rakyat Indonesia adalah sektor pertanian dan perikanan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Soekarno, bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki konsep-konsep terbaik tentang kemandirian kepada seluruh dunia. Kita harus maju terus, berdiri di atas kekuatan sendiri, maka saya berkeyakinan bahwa Indonesia akan menjadi hebat dari dua sektor ini.
Perjalanan penulis ke Thailand memberikan inspirasi betapa pertanian di negara Gajah putih itu sangat maju dibanding dengan negara kita. Apa yang menjadi rahasia hingga pertanian di Thailand jauh lebih maju, yakni idak hanya memberikan kedaulatan pangan negaranya tetapi juga menjadi kebanggaan bangsanya. Betapa tidak, karena pertanian di Thailand saat ini menjadi yang terbaik di ASEAN, dan merupakan negara pengekspor terbesar produk pertanian dunia.
Ada 2 indikator yang membedakan antara sektor pertanian di Indonesia dan di negara Gajah Putih. Kedua hal itu ialah produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani. Umumnya, produktivitas hasil pertanian di Thailand lebih unggul dan lebih berkualitas, sehingga kehidupan para petani di Thailand lebih makmur dan rata-rata memiliki mobil double cabin.
Keberhasilan Pemerintah Thailand di sektor pertanian ini disebabkan oleh keberpi-hakan Raja Bhumibol Abuljadey yang memproteksi para petani. Negara Thailand sangat menyadari bahwa sektor strategis produk pertanianlah yang menjadi hajat hidup sebagian besar penduduk dunia. Itulah sebabnya, negara Thailand sangat serius mengelola sektor pertanian itu, dengan didukung riset dan rekayasa teknologi yang melibatkan para ahli dalam negeri dan pakar dunia.
Melalui hasil riset dan rekayasa teknologi itu, Pemerintah Thailand telah mengambil kebijakan untuk (1) mengembangkan kualitas hasil pertanian, sehingga produk-produk hasil pertanian menjadi makin produktif dan berkualitas sesuai dengan standar gizi dan kesehatan dunia; (2) mengembangkan sistem pemetaan/pengelompokan produk pertanian pada satu wilayah berdasarkan agroklimat dan kebutuhan hasil pertanian, sehingga masing-masing wilayah memiliki kekhasan sesuai dengan potensi wilayahnya dan makin tumbuh kembangnya kelompok-kelompok agribisnis. Pemetaan/pengelompokan pertanian itu tampak, misalnya di Thailand Selatan menjadi kelompok penghasil kelapa sawit, beras, dan karet, sementara itu, kelompok buah-buahan dipusatkan di Provinsi Nalochitara, dan sayur-sayur dikembangkan di Sapurburi; (3) memperhatikan aspek keterkaitan dengan sektor lain, yaitu penyediaan teknologi industri pengolahan hasil pertanian, sehingga apabila terjadi hasil panen yang melimpah (melebihi kebutuhan) dapat didistribusikan ke industri pengolahan hasil pertanian. Cara tersebut dapat menjaga kestabilan harga dan peningkatan nilai ekonomi hasil pertanian; (4) memperhatikan skala ekonomi dalam hubungannya dengan transportasi dan distribusi hasil pertanian, seperti menyediakan pelabuhan dan sarana transportasi untuk mendukung ekspor dan distribusi hasil panen ke seluruh wilayah di Thailand, sehingga distribusi perdagangan hasil pertanian antardaerah dan antarnegara makin lancar.
Di samping itu, Pemerintah Thailand juga memproteksi produk pertanian dari dominasi peran tengkulak dan mafia perdagangan, serta memberikan insentif subsidi kepada para petani. Setiap produk yang dihasilkan memiliki standar harga dan pasar yang jelas yang diatur oleh negara, sehingga harga hasil pertanian relatif stabil. Demikian juga, perkembangan dan informasi harga komoditas per periode dari waktu ke waktu diikuti secara terbuka, sehingga para petani tidak dirugikan karena cepat dan akuratnya mendapat informasi dari pemerintah.
Selain itu, penyebab keberhasilan pertanian di Thailand adalah  adanya bank khusus pertanian dan kebijakan raja yang memihak pada petani. Bank khusus pertanian itu memudahkan para petani untuk mendapatkan pinjaman modal dengan bunga yang ringan dan regulasi yang mudah. Kebijakan negara Thailand yang lebih memihak kepada para petani telah mendorong masyarakat memanfaatkan lahan kosong yang tidak produktif untuk ditanami dengan tanaman yang berprospek ekspor. Sepanjang perjalanan yang penulis lihat,  di sisi kanan dan kiri jalan dari Kawasan Wisata Phuket ke Provinsi Surathani, hampir tidak dijumpai tanah kosong dan terlantar seperti halnya di Indonesia. Lahan-lahan tersebut telah dimanfaatkan masyarakat untuk bertanam kelapa sawit, karet, dan tanaman komersial lainnya. Tanaman ini ditanam berdasarkan pengelompokan sesuai agroklimat setempat dan didukung pula dengan industri pengolahannya.
Hal itulah yang membuat para petani Thailand sangat bergairah berusaha karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat. Kebijakan seperti itu, tidak terjadi di Indonesia. Di Indonesia, peran negara belum memihak pada para petani. Pemerintah belum memanfaatkan hasil riset secara maksimal untuk meningkatkan kualitas, produktivitas, dan tata niaga hasil pertanian. Pemerintah juga belum memberikan fasilitas bank khusus kepada para petani, belum menyediakan regulasi yang mengatur pemetaan dan distribusi hasil pertanian ke seluruh wilayah Indonesia. Perniagaan sarana dan hasil pertanian masih dikuasai oleh para tengkulak dan mafia pertanian, sehingga harga sarana dan hasil pertanian dikendalikan oleh mafia dan tengkulak. Akibatnya produktivitas dan kualitas hasil pertanian masih stagnan/tidak berkembang bahkan menurun, dan kehidupan para petani tetap miskin dan tidak sejahtera.
Bapak Jokowi-JK sudah dipilih, ditetapkan, dan dilantik menjadi Presiden dan wakil Presiden. Dalam kampanyenya program ekonomi kerakyatan yang diusung, memfokuskan pada sektor pertanian dan perikanan kelauta yang berdaya saing dan kompetitif dalam perspektif global. Dengan jumlah lahan pertanian sawah lebih dari 11 juta hektare, sektor perkebunan terbesar, potensi kelautan yang melimpah, dan agroklimat yang bersahabat, merupakan tantangan bagi Pak Jokowi-JK dan jajaran menterinya untuk mengoptimalisasikan potensi tersebut demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Melihat fakta bahwa produksi pertanian di Indonesia pada saat ini sudah dilampaui oleh petani Thailand, rasanya menjadi sangat prihatin, sebab mereka 30 tahun lalu, baru belajar pertanian di Indonesia. Andaikata kebijakan pemerintah ke arah intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi pertanian sudah dilakukan secara konsisten sebagaimana dilakukan di Thailand, serta dijadikannya sektor pertanian, kelautan, dan perikanan sebagai prioritas pembangunan, maka pertanian Indonesia akan dapat menghidupi dan membanggakan bangsa Indonesia. Gagasan ini pernah penulis sampaikan setahun lalu dalam edisi sebelumnya yang berjudul “Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Stop Impor Pangan dan Berantas Mafia Pertanian di Indonesia”.
Sudah saatnya, Indonesia  menjadikan para petani dan para nelayanyna lebih mandiri dan bermartabat dengan mengadopsi pola Pemerintah Thailand, yaitu dengan cara (1) membuat kebijakan yang memihak pada petani dan nelayan, (2) pemanfaatan hasil riset untuk meningkatkan produktivitas, kualitas hasil pertanian dan perikanan, (3) memfasilitasi model pengelompokan/pemetaaan pertanian dan perikanan berdasarkan iklim, area, dan kebutuhan hasil pertanian dan perikanan, (4) mengatur perniagaan sarana dan hasil pertanian dan perikanan secara jelas dan tegas, (5) menyediakan industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan untuk meningkatkan nilai ekonomis hasil pertanian dan perikanan, (5) penyediaan sarana dan prasarana penunjang pertanian dan perikanan, seperti bendungan, tambak, pelabuhan, dan sarana transportasi lainnya untuk mendukung ekspor dan distribusi hasil panen, dan (6) menyediakan bank khusus kepada para petani dan nelayan, yang memberikan kemudahan bagi para petani untuk memperoleh pinjaman modal dengan bunga yag ringan dan regulasi yang sederhana.
Dengan sistem tersebut, Indonesia akan cepat bangkit dari keterpurukan ekonomi, sebab Indonesia memiliki peluang produksi hasil pertanian dan perikanan (laut dan darat) yang sangat besar.  Apabila pertanian dan perikanan di Indonesia dikelola seperti sistem di Thailand secara transparan dan berdaulat,  insya Allah ekonomi Indonesia akan cepat melaju menuju kemandirian dan kedaulatan pangan yang bermartabat dan berdaya saing global.





Monday, November 10, 2014

Posted by Unknown | File under :


GRAMSCIAN WS RENDRA TOWARDSHEGEMONY  OF THE ORDE BARU:  ELEVATING THE LITERATURE OF INDONESIA TOWARDS LITERARYWORLD
UmiSalamah
IKIP Budi Utomo Malang, Jl. Simpang Arjuno 14B Malang





 












Abstract: Literatureaspartof thecultureis a reflection ofthe civilizationof a nation.Indonesian literature is a form of thinking about the public disclosure of new Indonesian. Along with the growing opportunities that Indonesian language will become the international language; the development of Indonesian literature to become citizens of the world literature is a necessity to be done. Literary works qualified need to be publicized through a variety of events, including readings, performances, discussions learning, and the publication. Resistance of WS Rendra to the socio-economic depravity, which is the spirit of nationalism, was glorifiedby Rendra in his poems to make thebetter changes. As one of the organic intellectual in Gramsci's view, Rendra not fight alone. He's looking for group support in a way other intellectual read and performing his work, documenting, socializeing, and discuss it in at arts institutions and universities both in Indonesia and abroad. WS Renda as organic intellectuals repressed society who want to provide a lesson for the public to be aware of the situation of the oppressed, to further voice their opposition to the powers that tend to be tyrant. Discussion of the research results on the works of WS Rendra in Gramsci's perspective is one way to raise the existence of Indonesian literature as citizens of the literarary world.

Key Word: Resarch of Indonesian  literatur,Gramscian WS Rendra,  towards literaryworld

GRAMSCIAN WS RENDRA MELAWAN HEGEMONI ORDE BARU: MENGANGKAT SASTRA INDONESIA MENJADI WARGA SASTRA DUNIA
Umi Salamah
IKIP Budi Utomo Malang, Jl. Simpang Arjuno 14B Malang

Abstrak: Sastra sebagai bagian dari kebudayaan merupakan cermin peradaban suatu bangsa. Sastra Indonesia merupakan salah satu bentuk pengungkapan pemikiran tentang masyarakat baru Indonesia. Seiring dengan makin besarnya peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia untuk menjadi warga sastra dunia merupakan keniscayaan untuk dilakukan. Karya-karya sastra yang berkualitas perlu dipublikasikan melalui berbagai even dan pers. Perlawanan WS Rendra terhadap kebobrokan sosial-ekonomi akibat hegemoni Orde Baru,  diteriakkan melalui sajak-sajaknyan agar terjadi perubahan yang lebih baik. Sebagai salah satu intelektual organik dalam pandangan Gramsci, Rendra tidak berjuang sendirian. Dia mencari dukungan kelompok intelektual lainnya dengan cara membacakan, mementaskan, mendokumentasikan,  dan mendiskusikannya di lembaga-lembaga kesenian dan perguruan-perguruan tinggi di Indonesia dan di luar negeri. WS Rendra sebagai intelektual organik dari masyarakat yang terepresi ingin memberikan suatu pembelajaran bagi masyarakat luas agar sadar akan keadaannya yang tertindas, untuk selanjutnya menyuarakan perlawanan pada kekuasaan yang cenderung tiran. Pembahasan hasil riset dan publikasi dalam jurnal internasional  terhadap karya-karya WS Rendra dalam perpektif Gramsci ini merupakan salah satu upaya mengangkat eksistensi sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia.
Kata kunci: Penelitian sastra Indonesia, Gramscian WS Rendra, menuju warga sastra dunia


PENDAHULUAN
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengangkat eksisitensi karya sastra di kancah global sebagai warga sastra dunia. WS Rendra merupakan salah satu  sosok penyair yang berani berbeda pada zamanya dan berani menerobos eksisitensi sastra dunia. Dia menempatkan diri sebagai intelektual organik yang memperjuangkan bangsa dan negara pada zamannya dari tirani hegemoni dan dominasi Orde Baru. Dengan kepiawaiannya mengolah kata dan keberaniannya memperjuangkan nilai-nilai kemanusian dan sosial pada zamannya, dia mengangkat karya-karyanya menjadi sastra warga dunia. Dalam artikel ini dibahas tentang (1) perlawanan WS Rendra terhadap hegemoni orde baru, (2)  Gramscian WS Rendra layak menjadi objek riset masalah sosial politik pada zamannya, dan (3) mengangkat sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia.

CARAMENGANGKAT SASTRA INDONESIA MENJADI WARGA SASTRA DUNIA
Sastra Indonesia merupakan salah satu bentuk pengungkapan pemikiran tentang masyarakat baru Indonesia(Rumusan Seminar Politik Bahasa tahun 1999, Michele. 1991).Dalam perkembangan selanjutnya, sastra Indonesia menjadi media ekspresi berbagai gagasan modern, pencerminan jati diri yang diilhami baik oleh sumber-sumber kebudayaan tradisi maupun oleh kebudayaan modern. Itulah sebabmya sejak lahirnya sastra Indonesia pada tahun 1920-an sampai saat ini, sastra Indonesia diharapkan memiliki jati diri sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia dan adaptable serta memiliki daya saing terhadap perkembangan sastra dunia.
Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra Indonesia mempunyai fungsi untuk (1) menumbuhkan rasa kenasionalan, (2) menumbuhkan solidaritas kemanusiaan, dan (3) merekam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia pada zamannya. Untuk memenuhui fungsinya itu, diperlukan upaya pembinaan sastra Indonesia yang meliputi pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan, serta pengembangan sastra yang meliputi penelitian dan pemeliharaan(Rumusan Seminar Politik Bahasa tahun 1999). Akan tetapi upaya pembinaan sastra Indonesia sampai saat ini belum mendapat sambutan yang baik dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia, sehingga perkembangan sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia masih tertatih-tatih. Penghargaan masyarakat terhadap sastra Indonesia masih dalam kategori sangat rendah, bahkan di institusi pendidikan pun belum menampakkan antusias untuk menghargai produk budaya ini. Fenomena semacam ini sangat tidak kondusif untuk perkembangan sastra Indonesia, apalagi mengangkat menjadi warga sastra dunia.
Seiring dengan makin besarnya peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia untuk menjadi warga sastra dunia merupakan keniscayaan untuk dilakukan. Karya-karya sastra yang berkualitas perlu dipublikasikan melalui berbagai even dan pers, di antaranya pembacaan, pementasan, penelitian, perbincangan, penggunaan sebagai media pembelajaran belajar bahasa, dan publikasi hasil riset terhadap karyanya. Peningkatan publikasi karya sastra maupun hasil riset tentang sastra Indonesia dalam berbagai media dan momen itu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan penghargaan terhadap karya sastra Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan demikian upaya mengangkat sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia menjadi lebih mudah.
DiterbitkannyaModern Library of Indonesia yang berisi seri terkini hasil karya sastra Indonesia modern diharapkan menjadi salah satu usaha untuk meningkatkan peranan sastra Indonesia di panggung dunia. Penerbitan seri buku Modern Library of Indonesiayang dilatari oleh cita-cita besar bahwa sastra adalah bagian kebudayaan yang penting, maka buku yang disunting John McGlynn itu, diharapkan dapat menjadi jembatan ke pembaca asing. Dengan demikian, pembaca asing tidak hanya dapat mengikuti perkembangan sastra Indonesia dari zaman ke zaman, melainkan juga pengamat luar akan dapat lebih menghayati kekuatan politik dan sosial yang ikut mengejawantahkan negara Indonesia.
.           WS Rendra merupakan salah satu sastrawan yang berhasil mengangkat karyanya menjadi warga sastra dunia. Kegigihan WS Rendra dalam menggambarkan peradaban pada zamannya memiliki keunikan yang berbeda dari pengarang lainnya. Inilah salah satu daya pukau pembaca dan penikmat terhadap karya-karya WS Rendra. Upaya publikasi yang dilakukan WS Rendra terhadap karya-karyanya juga memiliki dampak yang sangat besar terhadap eksistensi sastra Indonesia. Nama besar WS Rendra tidak dibangun secara instan, tetapi diperlukan kemauan keras, rasa percaya diri, keunikan, dan publikasi yang keras termasuk beraliansi dengan pers dan berkonektivitas dengan berbagai lembaga pendidikan dan birokrasi yang mendukung proses kreatifnya.

PERLAWANAN WS RENDRA TERHADAP HEGEMONI ORDE BARU MENCERMINKAN PERADABAN INDONESIA PADA MASA ITU
Sastra sebagai bagian dari kebudayaan merupakan cermin peradaban suatu bangsa. WS Rendra menjadi pembeda dari penyair lainnya pada zamannya, karena melalui kepiawaiannya dalam mengolah kata, ketajamannya dalam melihat, mendengar, dan merasakan situasi dan kondisi sosial politik masyarakat pada masa itu membuat karyanya menjadi karya fenomenal yang mudah dicerna dan menimbulkan empati pada para intelektual organik dan kelompok masyarakat yang tersakiti, sehingga mampu menjadi alat perlawanan yang efektif. Dalam kutipan puisinya ‘Sajak Sebatang Lisong’ dapat dilihat bagaimana dia geram terhadap kerja kesenian saat itu, yang tidak memberikan banyak perhatian pada situasi sosial yang ada:
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang berpuisi tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian (1993:34)

Menurutnya, kerja seni yang tidak mempunyai relevansi dengan kehidupan sosial menjadi ‘karpet merah’ bagi Orba untuk terus melenggang dalam kekuasaan, dan bahkan cenderung menjadi otoriter. Kesenian menjadi apolitis, sehingga ruang yang tersedia pada setiap kerja kreatif untuk melakukan kontrol sosial tidak dijalankan. Ini sesuai dengan apa yang diharapkan oleh rezim Orba. Kapendam V Jaya saat itu, Anas Malik berpendapat bahwa sebaiknya seni jangan dihadapkan sebagai oposisi melawan pemerintah (Haryono, 2005:269). Menjadi jelas bahwa bentuk seni sastra yang berkembang ketika itu juga tidak luput dari kerja hegemoni penguasa Orde Baru. Lebih lanjut Rendra menulis:

inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan (1993:37)

            Posisi Rendra dalam situasi sosial ketika Orba tengah mencengkramkan dominasi dan hegemoninya adalah sebagai intelektual organik yang menyediakan diri untuk terjadinya kemungkinan counter hegemony atau sikap perlawanan. Intelektual organik seperti Rendra yang terur-menerus melakukan perlawanan tersebut pada akhirnya akan menentukan apakah situasi status quo yang menguntungkan penguasa terus berlangsung, atau berganti dengan penguasa baru.
Periode 1970-an sampai dengan reformasi, karya Rendra mengalami perubahan, dari karya-karya sebelumnya, yaitu dari karyayang penuh dengan estetika dan magis ke karya yang banyak menyoroti masalah sosial di Indonesia. Estetika melalui misteri, ambiguitas, mistis, dan kemesraan, yang menjadi kekuatan pada puisi-puisi terdahulunya, mulai ditanggalkan. Dimulai dari Potret Puisi dalam Pembangunan (PPDP), Rendra tidak lagi menjadikan estetika sebagai motif utama dalam kepenyairannya. Hal tersebut dilakukan karena, Rendra tidak mau terasing dari dunia politik yang ada pada zamannya (Gendut Riyanto dalam Haryono, 2005:276).
Rendra telah menjadikan puisi dan aktivitas seni lainnya sebagai sarana perlawanan terhadap penguasa yang dianggapnya lalim dan tiran, yakni Orde Baru. Karya-karyanya cenderung menjadi karya kreatif yang mengedepankan aspek sosial-politis daripada estetis (Sarjono, 2001). Disebut sosial-politis, sebab yang menjadi tujuan akhir dari karya kreatifnya bukan lagi perkara estetika saja, melainkan tujuan praktis berupa cita-cita perubahan sosial yang signifikan. Terlebih lagi, karya kreatif tersebut secara sadar difungsikan sebagai alat untuk mendelegitimasi kekuasaan penguasa di mata rakyatnya. Aktivitas melakukan riset dan pendataan fakta inilah yang semakin menguatkan posisi sosial-politis puisi-puisi pamplet, sebagaimana dalam kutipan di bawah ini:

“Sadarlah saya, bahwa saya akan kehilangan nuansa misteri. Ya saya harus mengikhlaskan diri untuk tidak memakai pesona misteri dan “ambiguity” yang menjadi kekuatan puisi sebelumnya .... Inilah yang ingin dan maksudkan di dalam menulis puisi sosial-ekonomi-politik, yaitu relevansi sosial,” (Rendra dalam Haryono, 2005:277).

Rendra banyak berbicara tentang masalah sosial ekonomi berdasarkan hasil riset dan pendataan fakta yang ada di tengah masyarakat saat itu. Perlawanan terhadap kebobrokan sosial-ekonomi pada masa itu diteriakkan melalui sajak-sajaknyan, drama, dan filmnya agar terjadi perubahan yang lebih baik. Sebagai salah satu intelektual organik dalam pandangan Gramsci, Rendra tidak berjuang sendirian. Dia mencari dukungan kelompok intelektual organik lainnya dengan cara membacakan, mementaskan, mendokumentasikan, mempublikasikan. dan mendiskusikannya dalam sarasehan yang diselenggarakan di lembaga-lembaga kesenian dan perguruan-perguruan tinggi besar di Indonesia dan di luar negeri.
Dengan meminjam konsep Gramsci tentang kontra hegemoni (Ritzer, 1992), dapat dikatakan bahwa WS Rendra sebagai intelektual organik masyarakat yang terepresi ingin memberikan suatu pembelajaran bagi masyarakat luas agar sadar akan keadaannya yang tertindas, untuk selanjutnya menyuarakan perlawanan pada kekuasaan yang cenderung tiran.
Perjuangan WS Rendra tidak sia-sia. Publikasi yang dilakukan di berbagai even dan media dalam dan luar negeri telah menginspirasi dan memompa semangat intelektual organik lainnya untuk melakukan reformasi. Tahun 1998 merupakan puncak dari kekesalan para intelektual organik Indonesia untuk keluar dari cengkeraman hegemoni dan dominasi Orde Baru yang makin tiran dan keinginan yang kuat untuk melakukan perubahan. Dalam konteks ini, keterkaitan antara dominasi, hegemoni, dan peran intelektual organik dalam melawan hegemoni kekuasaan Orde Baru sangat menonjol dalam karya-karya WS Rendra era 70-an sampai reformasi.

GRAMSCIAN WS RENDRA LAYAK MENJADI OBJEK RISET MASALAH SOSIAL POLITIK ZAMANNYA
WS Rendra menjadi fenomena yang menarik karena ketika Orde Baru tengah berada pada masa kejayaannya, puisi-puisi pamfletnya, karya-karya drama, dan filmnya dibacakan, dipentaskan, dan diputar di kota-kota besar, di dalam dan di luar negeri. Acara pembacaan puisi, sarasehan kebudayaan, pementasan drama, dan pemutaran filmnya selalu dibanjiri oleh penonton, bahkan hujan dan terundurnya waktu dua jam pun tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menunggu sang penyair membacakan puisi-puisinya, menyampaikan orasinya, maupun mementaskan dramanya. Pada umumnya para penonton mengagumi W.S. Rendra karena beberapa hal (1) keberaniannya, (2) kehebatan dalam berkomunikasi dan daya tarik kharismatiknya, (3) puisi-puisinya mudah dipahami dan membawakan keadaan zamannya (Kompas, Rabu, 1 Mei 1978).
Rendra memberikan pemaknaan alternatif terhadap realitas yang ada di masyarakat, yang selalu menjadi monopoli penguasa. Pemaknaan tersebut berupa pandangan-pandangan bagaimana seharusnya apek pendidikan, hukum, ekonomi, dan politik dijalankan. Hal ini mengantarkan WS Rendra berhadapan dengan rezim Orba sebagai penguasa tiran negara pada zamannya.
Sebagaimana halnya catatan sejarah di tempat-tempat lain, kekuasaan yang terlalu mutlak pada akhirnya akan berubah menjadi struktur yang menindas(Davidson, 1968). Slogan pencitraan pembangunan dan stabilitas nasional yang digunakan sebagai alat kekuasaan hegemoni Orde Baru membuat nilai-nilai kemanusaiaan di Indonesia pada masa itu mati suri.Pembunuhan, penculikan, penahanan terhadap tokoh-tokoh politik dan mahasiswa-mahasiswa yang kritis dilakukan atas nama stabilitas nasional dan pembangunan. Atas nama itu pula, segala tindakan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah dianggap wajar.
Orba menjadi sistem pemerintahan yang tidak memungkinkan munculnya pilihan kedua atau alternatif. Atas nama stabilitas, segalanya dikomando dari atas ke bawah. Pembangkangan berarti melawan negara yang memiliki konsekuensi hukum. Hal ini terjadi di setiap lini kehidupan (Aritonang, 1999). Garis komando pemerintah Orba yang tegas dan berkonsekuensi hukum itu tidak hanya terdapat pada wilayah ekonomi dan politik saja, tapi juga merambah wilayah-wilayah lain. Dunia pendidikan dan kebudayaan pun tidak luput dari cengkraman pemerintah Orba. Melalui aparatusnya,Orba mengontrol setiap aktivitas kebudayaan masyarakat dan produk budaya yang dihasilkan. Dengan hegemoni dan dominasi semacam itu, ketika Indonesia terjadi praktik korupsi besar-besaran, peculikan, pembunuhan, penggusuran, pengambilalihan  lahan pertanian, penggundulan hutan, sebagian besar intelektual, terutama intelektual tradisionaljustru hanya diam saja, Gramsci menyebutnya Go to silent. Kondisi semacam ini menurut WS Rendra harus dilawan.
Pada zamannya, Rendra terpilih sebagai seorang intelektual organik yang berperan memberikan pencerahan terhadap masyarakatnya. Sebagai intelektual organik, WS Rendra mengakui hubungan dengan kelas sosial tertentu, yakni masyarakat yang tertindas, mendorongnya untuk memberikan kesadaran akan fungsinya, khususnya pada bidang sosial-politik, dan bergabung dalam kelompok-kelompok revolusiner untuk men-support dan meng-counter hegemony pada sebuah transformasi sosial yang direncanakan, walaupun memiliki resiko yang sangat besar dan membahayakan (Barrett, 1991:3-7; Patria, 2003:161).
Eksistensi WS Rendra sebagai seorang intelektual organik dapat dilihat dari berbagai macam konsep pembangunan dan masyarakat yang tertera dalam karya-karyanya. WS Rendra mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada, dan bergabung dalam kelompok-kelompok revolusioner untuk melakukan counter hegemony terhadap kekuasaan yang mapan. Hal ini dapat dilihat ketika WS Rendra sering terlihat pada aksi-aksi mahasiswa yang berdemonstrasi menggugat penguasa.
Gramscian WS Rendra memiliki perbedaan strategi dari penggagasnya yakni Antonio Gramsci. Apabila Gramsci sebagai intelektual organik berjuang tanpa didukung oleh banyak intelektual organik sehingga ketika ia dijebloskan ke dalam penjara sampai akhir hayatnya, ia hanya bisa melawan hegemoni kekuasaan pada masanya melalui tulisan-tulisan yang dibuat di balik tirali besi, tanpa mampu mempublikasikannya.
Sebaliknya perlawanan WS Rendra terhadap hegemoni Orde Baru mendapat dukungan dari banyak intelektual organik lainnya. Dukungan para intelektual organik kepada WS Rendra dalam melawan hegemoni Orde Baru diperoleh melalui berbagai cara. Dengan mengusung misi memberikan pencerahan pada masyarakat tentang keadaan mereka yang sebenarnya dan dalam rangka mencari dukungan intelektual organik lainnya, karya-karya Rendra dipublikasikan di berbagai tempat, seperti di ITB, UI, Universitas Atmajaya, Universitas Taruma Negara, Universitas Trisakti, Universitas Gajah Mada, Taman Ismail Marzuki, dan beberapa kampus serta instansi dalam maupun luar negeri. Selain membacakan puisi-puisinya, Rendra juga diundang sebagai penceramah “kebudayaan” di berbagai perguruan tinggi. Bahkan, setiap momen pembacaan yang diikuti dengan sarasehan dan ceramah turut didokumentasikan menjadi buku oleh berbagai media.Itulah sebabnya perlawananWS Rendra dalam melawan Orde Baru dapat diwujudkan. Puncak dari gerakan perlawanan terhadap hegemoni Orde Baru terjadi 1998, yaitu terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi.
Pembahasan hasil riset terhadap karya-karya WS Rendra dalam perpektif Gramsci dalam forum seminar internasional dan publikasinya merupakan salah satu upaya mengangkat eksistensi sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia. Semakin banyak penelitian dan publikasi hasil riset terhadap sastra Indonesia di seminar ilmiah internasional, akan membawa dampak keingintahuan seluruh pembaca dan peserta seminar untuk membaca dan mempelajari karya-karya yang diteliti dan dipublikasikan.


PENUTUP
Ibarat banyak jalan menuju roma, selalu ada banyak cara untuk mengangkat sastra Indonesia menjadi sastra dunia. Peningkatan kesadaran dan cita-cita besar bahwa sastra adalah bagian kebudayaan yang penting bagi suatu bangsa, penyelenggaraan berbagai lomba menulis dan publikasi karya sastra sampai tingkat internasional, penghargaan terhadap karya sastra yang berkualitas,publikasi dalam berbagai even terhadap karya sastra yang berkualitas termasuk mengangkat sastra ke industri kreatif. Yang tidak kalah pentingnya, sastrawan harus pandai beraliansi dengan Pers.
Selain itu, publikasi terhadap hasil riset karyasastra Indonesia dalam berbagai seminar, dan jurnal internasional, merupakan cara efektif  untuk mengangkat sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia. Tentu saja hal ini perlu dukungan dari berbagai pihak, baik dari kalangan birokrasi (khususnya pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan industri kreatif), pelaku usaha, dan generasi muda masyarakat Indonesia. 

DAFTAR RUJUKAN
Aritonang, Diro. 1999. Runtuhnya Rezim Daripada Soeharto: Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998. Bandung: Pustaka Hidayah.
Barrett, Michele. 1991. The Politics of Truth: From Marx to Foucault. Chapter 4: ‘Ideology, Politics, Hegemony: From Gramsci to Laclau and Mouffe’, hal. 51-80.
Bourdieu, Pierre. 1991, Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press.

Creswell, John W. 2010. Research Desain Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed the Thirth Edition. Diterjemahkan oleh Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ok, G. 1994. Discourse and Literature: Interplay of Form and Mind. New York: Oxford University Press.
Davidson, Alastair. 1968. Antonio Gramsci, The Man, His Ideas. Sydney: Australian Left Review Publications.
Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonnas S. 1977. Handbook of Qualitative Research. Diterjemahkan oleh Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi tahun 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
____. 1995. Perlawanan Tak kunjung Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gadamer, Hans-Georg. 2010. Kebenaran dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gramsci, Antonio. 1976. Selection from the Notebook. Hoare dan Nowell Smith (ed). New York: International Publishers.
______________. 2013. Prison Notebooks: Catatan-catatan Dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haryono, Edi. 2005. Membaca Kepenyairan Rendra. Yogyakarta: Kepel Press.
Kompas, 28 April 1970. WS Rendra Ditangkap dan Di-skogar-kan Semalam.
Kompas, 28 April 1978. Rendra Telah Menjadi rabindranath Ragore, hal. 5
Kompas, 2 Oktober 1978 WS Rendra Dibebaskan.
Pikiran Rakyat, Minggu 23 Maret 1986. Zaman Cacat, Rendra dan Ranggawarsita.
Gatra, 18 November 1996 hal 24—25. WS Rendra Beraliansi dengan Pers.
Kompas, 6 Januari 1997. WS Rendra:  Pemimpin Perlu Hayati Hati Nurani.
Paji Masyarakat No. 527. WS Rendra: Perlu Ditegakkan Kedaulatan Manusia.
Kompas, 18 Mei 1998. WS Rendra: Kesenjangan Sosial, Ekonomi, dan Politik.
Kompas,24-30 Juni 1999: Politisi Kita Nggak Ngerti Sejarah.
Kompas, 19 Mei 2000. Rakyat Indonesia Belum Merdeka.
Warta Kota, Senin 2, Oktober 2002. Orasi Budaya Rendra: Elie Indonesia Masih Primitif.
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. 1992. Sociological Theory. Singapore: McGraw-Hill.
Sassoon, Anne Showstack (1987). Gramsci’s Politics. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Sarjono, Agus R. 2001. Sastra Dalam Empat Orba. Yogyakarta: Bentang
Van Dijk, Teun A. 1993. Discourse and Cognition in Society, dalam Communication Today, diedit oleh Mitchell dan Crowley. Oxford: Pergamon Press.
_______________. 1997,Discourse as Structure and Process. London: Sage.
Wareing, Shan dan Linda Thomas.2007.Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.